Kamis 23 Nov 2017 06:31 WIB

Aliran Kepercayaan Jadi Alat Politik Orde Lama Hingga Orde Baru

Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan menyaksikan sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).
Foto: Kaskus
Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

Diakui atau tidak menurut Samsul, definisi ini tidak ada di dalam dokumen negara. Tapi sangat efektif menjadi memori di masyarakat. Karena definisi itulah yang lantas jadi pedoman penganut lima agama yang diakui negara --saat ini enam--, untuk mendapatkan pelayanan resmi dari negara.

Dalam perjalanannya Departemen Agama salah satu programnya memonitor kelompok aliran kepercayaan. Merasa mendapat intimidasi, kelompok aliran kepercayaan atau kebatinan ini lantas berlindung di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rumahnya.

Di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan inilah kelompok kepercayaan dan kebatinan sangat mudah bernegosiasi dengan pemerintah. Sehingga dua gerbong ini di 1950-an selalu berhadap-hadapan dalam kebijakan agama dan kepercayaan. Dan pada 1965 momen kelompok agama yang dekat Soekarno menuntut adanya Perpres,-yang kemudian menjadi Undang Undang PNPS 1965, soal Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.

"Ini adalah tuntutan kelompok agama (Islam) untuk menekan kelompok kepercayaan/kebatinan. Saat itu terjadi kasus penodaan agama pertama antara aliran kepercayaan dengan kelompok Islam," katanya.

Dari UU PNPS 1965 inilah menunjukkan garis tegas bahwa perspektif negara soal aliran kepercayaan/kebatinan, mereka membahayakan ketertiban umum. Karena hanya ada lima agama yang diakui untuk dianut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement