Sabtu 11 Nov 2017 08:03 WIB
Hari Pahlawan

Bangunan Bersejarah di Surabaya Satu per Satu Hilang

Sejumlah pemeran mementaskan drama kolosal Surabaya Membara di Jalan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/11). Drama yang menceritakan perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan RI tersebut dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Tugu Surabaya

Melihat adanya bangunan bersejarah yang dibongkar, Ady dan sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya Aminuddin Kasdi memiliki pendapatnya masing-masing. Meski begitu, pendapat mereka hampir sama, yaitu menyayangkan hal tersebut.

Soal rumah di Jalan Mawar, Ady berpendapat, yang terpenting saat ini adalah info yang akan disampaikan di bangunan yang sedang dibangun kembali itu dapat disampaikan dengan baik. Tinggal bagaimana pemerintah atau pemilik lahan itu menyampaikan kisah sejarahnya dengan betul.

"Kita barang sudah hancur sudah tidak bisa apa-apa lagi. Ketka itu sudah dibangun lagi, yang penting adalah ceritanya sampai. Cerita seperti pidato-pidato apa saja yang disampaikan di sana itu apakah bisa tersampaikan dengan baik? Kalau cuma bangunannya aja ngapain," kata dia.

Soal RS Simpang yang dijadikan mal, Ady merasa hal itu tidak sepantasnya terjadi. Di saat orang menyebut kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan, ruh Surabaya sendiri sebagai Kota Pahlawan itu ia pertanyakan.

"Semakin menguat atau memudar? Di sisi lain, pemerintah kita menggembar-gemborkan tulisan di mana-mana 'Sparkling Surabaya', 'Surabaya Shopping Ferstival', bagaimana pun juga itu berbenturan," jelas Ady.

Benturan paling ekstremnya, kata Ady, adalah tempat-tempat bersejarah yang kini telah menjadi korban itu. Selain RS Simpang, ia juga menyebutkan bekas Markas Kaigun Jepang yang kini menjadi Grand City Mall di Surabaya.

"Nyata itu, yang jadi korban tempat-tempat bersejarah. Saya tidak ngomong yang dikhawatirkan akan terjadi, tapi itu sudah terjadi. Kegilas juga dengan yang mereka gembar-gemborkan. Saya menyayangkan hal itu," ungkapnya.

Kalau menurut Aminuddin, saat ini zaman sudah berbada. Dalam pembangunan teknologi dan ekonomi saat ini, sejarah dianggap tak begitu penting. Kiblat pembangunan pasti ekonomi.

"Bagi saya kecil kepedulian masyarakat terhadap sejarah. Bahkan, wali kotanya sendiri juga dalam tanda petik kurang peduli," ujar Aminuddin di ujung wawancara dengan Republika.

Maksudnya dari kurang peduli itu, sebetulnya aset-aset yang penting itu bisa dibeli oleh pemerintah kota. Menurut Aminuddin, rumah di Jalan Mawar itu sebetulnya bisa diatasi jika pemerintah kota mengakuisisi lahan itu.

"Pembongkaran bangunan-bangunan sejarah itu sebetulnya bisa dicegah oleh pengawas. Pengawasannya itu dari bawahannya pemerintah kota, yaitu kecamatan dan sebagainya. Itu yang jadi pengawas," jelas dia.

Dengan begitu, akan semakin sedikit orang yang tidak mengetahui lokasi-lokasi bersejarah di Kota Surabaya. Sehingga, pemuda seperti Dany Ramadhan (25) dan Vikky Agil (20) yang Republika temui di sekitar Delta Plaza Surabaya bisa mengetahui lokasi bersejarah tanpa perlu diingatkan terlebih dahulu.

Keduanya, ketika ditanya tentang nilai sejarah mal yang kerap mereka kunjungi itu, mengaku tidak tahu. Setelah diberitahu, mereka baru berkata, "oh iya! Pernah ingat ceritanya itu."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement