Sabtu 30 Sep 2017 15:03 WIB
Pengkhianatan G30S/PKI

Aidit di Antara Sukarno dan Soeharto

Pengkhianatan G30S/PKI
Foto:
Naskah Supersemar

Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya. “Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi.

Menurut Sukarno, sebagaimana dikatakan oleh Amirmachmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Mengapa Presiden Sukarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Sukarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar.

Sukarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Sukarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto.

Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.

Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya.

Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement