Sabtu 19 Aug 2017 04:08 WIB
HUT Bung Hatta

Bung Hatta, Orde Baru, dan Komunisme

Mohammad Hatta dan Rahmi menikah di Megamendung, Bogor, pada 18 November 1945.
Foto: IST
Mohammad Hatta dan Rahmi menikah di Megamendung, Bogor, pada 18 November 1945.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika.co.id

Pensiun dininya sebagai wakil presiden pada 1956 memunculkan percikan tersendiri dalam pemikiran Mohammad Hatta. Lukman Hakiem, sejarawan sekaligus mantan staf ahli Mohammad Natsir, dalam tulisannya untuk Republika.co.id menuturkan, saat itu keadaan mendorong kian dekatnya Hatta dengan unsur-unsur Islam.

Perkumpulan-perkumpulan Islam semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) yang kecewa terhadap perekonomian dan politik bangsa kerap berkeluh kesah kepada Hatta. Salah satu kekhawatiran mereka adalah munculnya ancaman pembubaran oleh PKI yang amat dekat dengan presiden Sukarno.

Barangkali, bukan kebetulan pada masa-masa itu Hatta kian kerap berpidato soal kaitan erat antara sosialisme dan Islam. Salah satu yang paling berani, saat ia membawakan pandangan religius itu ke Cina, pekarangannya komunisme dan ateisme.

Di hadapan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen di Kanton pada 11 Oktober 1957, Hatta menekankan, sosialisme Indonesia tak akan bisa lepas dari prinsip-prinsi keislaman seperti persaudaraan dan keadilan bagi umat manusia. “Maka bagi kaum Muslim, perjuangan untuk sosialisme ibarat perintah Allah yang tak dapat dielakkannya.”

Saat komunisme diberangus pada 1965, pemikiran tersebut mengental. Tak hanya sebatas teori, Hatta berupaya mewujudkan gerakan politik dan ekonomi Islam. Tak lama selepas G30S, Hatta bersama sejumlah tokoh HMI, PII, dan Masyumi berencana mendirikan partai Islam. "Ajaran Islam tentang demokrasi dan sosialisme beserta isi daripada UUD 1945 menjadi pedoman bagi gerakan ini," ujar Hatta terkait gerakan itu seperti dituliskan Deliar Noer.

Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) disepakati sebagai nama partai modern yang "berjiwa Islam,  bersifat nasionalistik, dan berjuang berdasarkan Pancasila" tersebut. Apa mau dikata, cita-cita itu kandas di tangan presiden Soeharto. Pada 17 Mei 1967, saat partai tersebut hendak diluncurkan, datang surat larangan dari Soeharto.

Meski dikecewakan, Hatta tak berhenti mengkampanyekan Islam sebagai semangat perbaikan perekonomian negara. Pada pidatonya di Universitas Syah Kuala Banda Aceh pada 1970, misalnya, Hatta menyinggung lemahnya pengelolaan zakat oleh pemerintah. Ia meyakini, manajemen zakat yang optimal bisa jadi senjata ampuh mewujudkan pemeliharan fakir miskin dan anak-anak telantar.

Hingga akhir hayatnya pada 1980, Hatta tak pernah mengendur. Hatta banyak menulis surat kepada pejabat Orde Baru bila merasa ada kebijakan, termasuk di bidang ekonomi, yang dinilainya melenceng dari semangat ekonomi kekeluargaan. Hatta ingin agar kebijakan pemerintahan Orde Baru tetap memprioritaskan pembangunan yang berwawasan kesejahteraan, dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang prorakyat.

Pada akhirnya, Bung Hatta dan yang berkecamuk di kepalanya tak hadir dari ruang kosong. Ia adalah putra dari zamannya. Tuhan menakdirkan ia hadir di tengah banyak peristiwa dan menemui banyak tokoh yang nantinya memengaruhi jalan pikirnya. Mencermati rerupa gejala untuk merancang mitigasi bagi masa yang menjelang. Sayang, peringatan-peringatannya, sarannya untuk keadaan yang lebih sejahtera, jalan yang ia rancang untuk keadilan sosial dan kemanusiaan yang lebih adil dan beradab, sementara ini lebih sering tak didengarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement