Rabu 07 Jun 2017 02:05 WIB
Haul Sukarno

Sukarno Belajar dari Tjokroaminoto Hingga Mustafa Kemal

HOS Tjokroaminoto
Foto: wikimedia
HOS Tjokroaminoto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Erika Nugraheny, Umi Nur Fadhilah, Ali Mansur

Gagasan pergerakan Islam HOS Tjokroaminoto banyak memengaruhi Sukarno.

"Ibu adalah, meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, teosofi. Jadi kedua kedua orang tua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam…"

Kenangan itu disampaikan Sukarno, sang proklamator, pada Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Stadion Gelora Sukarno, 25 November 1962. Ayah yang ia maksud dalam pidato tersebut adalah Raden Sukemi Sastrodihardjo, seorang guru. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai yang masuk Islam setelah menikah dengan Sukemi.

Sukarno tidak pernah berkecil hati. Saat ia dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Surabaya, agama Islam bukan sudut pandang utamanya terhadap dunia. Toh, pada akhirnya, saat ia wafat dan dimakamkan di Blitar pada 21 Juni 1970, ia diselimuti kain Muhammadiyah. Sukarno juga berpulang meninggalkan buah pikir yang dipengaruhi banyak tokoh Islam dan ajaran agama tersebut.

Perkenalan Sukarno dengan Islam bermula setelah ia tamat dari sekolah Europese Lagera School di Mojokerto pada 1915. Ia kemudian memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Saat itu, Raden Soekemi menitipkan sang anak kepada kawannya Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Kendati berteman dekat, Tjokroaminoto dan ayah Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo sedianya memiliki perbedaan strata sosial. Soekemi tetap memercayakan anaknya mengingat ketokohan Tjokro. Kerabat Tjokroaminoto, Nunu A Hamijaya mengisahkan, HOS Tjokroaminoto saat itu ternama sebagai orator ulung dan pemimpin Sarekat Islam (SI).

"Rumah Peneleh (daerah rumah Tjokroaminoto) memang ditempati banyak orang dari berbagai kalangan, banyak temannya (Bung Karno), baik pribumi maupun Belanda," kata Nunu yang juga sekretaris umum pimpinan wilayah (PW) Syarikat Islam (SI) Indonesia Jawa Barat itu kepada Republika beberapa waktu lalu.

Di Surabaya, Sukarno mulai ikut dalam pergerakan Islam dan lebih mengenal Islam melalui ceramah-ceramah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Perkenalannya dengan KH Ahmad Dahlan ketika yang bersangkutan berceramah di dekat rumah Tjokroaminoto. Sukarno menuturkan, ia saat itu sedemikian terpukau dengan ceramah-ceramah KH Ahmad Dahlan. Setelah itu, setiap Dahlan berceramah, ia selalu ikut.

Menurut Nunu, Bung Karno juga mengagumi kemampuan politik praktis dari Tjokroaminoto. Tjokro memang dikenal dengan kemampuannya berpidato, menulis, dan menggerakkan massa. Sebaliknya, Tjokoaminoto juga menyadari jiwa kepemimpinan Sukarno. Ia bahkan berani menaruh harapan terhadap Bung Karno untuk melanjutkan kepemimpinannya di SI. Tjokro juga mengizinkan Sukarno menikahi putrinya, Utari.

Menurut sejarawan Islam dan keindonesiaan, Tiar Anwar Bachtiar, dari rumah di Gang Peneleh itu, Sukarno kemudian mengenal sejumlah tokoh SI, seperti Abdul Muis dan Haji Agus Salim. Dari Agus Salim, yang memang memiliki penguasaan Bahasa Arab, Sukarno juga mendalami Islam. Pembelajarannya terhadap Islam juga ditunjang diskusi dan bacaan.

Sukarno pun berkawan akrab dengan pelajar seumurannya, di antaranya Semaun, Kartosuwiryo, Alimin, dan Darsono yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto. Selama tinggal di Gang Peneleh, para pelajar muda itu belajar tentang organisasi, politik, pidato, orasi, hingga pendalaman berbagai pemikiran, baik Islam maupun bukan Islam.

Kesadarannya Sukarno tentang Islam kemudian berkembang sejalan dengan kesadaran terhadap sikap antikolonialisme. "Peran Tjokroaminoto dalam kesadaran ini jelas, yakni mengader para pelajar cerdas sebagai calon pemimpin masa depan. Dalam mengader, Tjokroaminoto tetap mengutamakan sentuhan Islam sebagaimana perannya sebagai tokoh SI," kata Tiar.

Saat itu, SI terbilang sebagai organisasi yang paling tegas menyuarakan antipenjajahan. Sebelum berganti nama menjadi SI pada 1911, organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada 1905. SDI adalah organisasi massa pertama Indonesia yang didirikan pada zaman kolonial. Salah satu tujuan pendiriannya, yakni melawan politik Belanda yang memberi keleluasaan terhadap pedagang asing.

Hal ini memengaruhi semangat Islam yang menurut Sukarno sebagai sikap yang antikolonialisme dan penindasan. Sukarno dan rekan-rekannya saat itu telah bergabung sebagai kader muda SI. Di organisasi berbasis massa tersebut, Sukarno mengasah kemampuan berpolitik. Selama masa dewasa awal inilah, jiwa nasionalismenya semakin terbentuk.

Selain bergabung di SI, Sukarno muda juga tercatat aktif menulis di harian Oetoesan Hindia yang dikelola Tjokroaminoto. Kedekatannya dengan tokoh SI kembali terjalin ketika dia melanjutkan pendidikan di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada 1921.

Semasa tinggal di rumah Tjokroaminoto, Sukarno muda bersentuhan pula dengan teori Marxisme di HBS Surabaya melalui gurunya C Hartogh. Sukarno juga aktif mengunjungi perpustakaan Freemason, tempat ayahnya berorganisasi. Di perpustakaan itu, Sukarno banyak  membaca buku filosofi, nasionalisme, Marxisme, dan Leninisme.

Sukarno yang tergerak oleh Marxisme sempat mendaftarkan diri ke Indische Social-Democratische Vereeninging (ISDV) yang didirikan pada 1914. Semaun, rekan satu kontrakan Sukarno yang kemudian dikenal sebagai pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah Serikat Islam pecah, juga anggota ISDV.

Kian kemari, Sukarno sempat makin kuat kecenderungan komunis dan sosialisnya. Ia dirayu merengkuh internasionalisme yang dikampanyekan tokoh sosialis A Baars. Beruntung saat itu, Sukarno disadarkan tokoh SI, Abdul Muis, untuk kembali meyakini nasionalisme. Nasib Republik Indonesia bisa sangat berbeda bila Sukarno kebablasan meyakini internasionalisme saat itu.

Kedekatannya dengan tokoh SI kembali terjalin ketika dia melanjutkan pendidikan di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada 1921. Di Bandung, Sukarno tinggal di rumah Haji Sanusi yang merupakan pengurus SI Bandung.

Selama kuliah teknik sipil, dia mengenal tokoh lain, seperti dr Tjiptomangunkusumo, Douwes Dekker, Muhammad Natsir, dan Ahmad Hassan.  Dua nama terakhir merupakan tokoh Islam yang sering berseberangan ide dengan Sukarno.

Baik Hassan maupun Natsir sama-sama bercita-cita mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam. Sementara itu, bagi Sukarno perihal agama dan negara sebaiknya dipisahkan.

Tiar menuturkan, pemikiran Sukarno ini terpengaruh ide modernisme Turki oleh Mustafa Kemal Pasha. Pandangan ini kemudian membuat Sukarno disebut sebagai kalangan Islam nasionalis. "Bisa dikatakan juga pemikirannya lebih sekuler. Meskipun sering berseberangan pandangan dengan para ulama, hubungan Sukarno dengan mereka tetap baik. Salah satu contoh adalah hubungannya dengan HAMKA," kata Tiar.

Bagaimanapun, sejarah mencatat masa-masa perkenalan Sukarno dengan SI dan Islam adalah masa-masa krusial yang membentuk cara pikir Sukarno. Ia menguatkan tekad sang proklamator soal nasionalisme Indonesia. Tekad yang digenggam erat Sukarno sepanjang hidupnya, tekad yang pada akhirnya berujung kemerdekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement