Jumat 24 Feb 2017 12:00 WIB
Sejarah Freeport dan Perlawanan Papua

Musuh di Milenium Baru

Sebuah tato bintang kejora dari seorang Mahasiswa Papua yang menunggu rekannya diperiksa di Gedung Sabhara Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (1/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sebuah tato bintang kejora dari seorang Mahasiswa Papua yang menunggu rekannya diperiksa di Gedung Sabhara Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (1/12).

Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Fajar milenium terkini baru saja merekah. Secara kebetulan, ratusan bendera bintang kejora, melambangkan planet Venus yang bersinar paling terang saat subuh dan senja kala, juga berkibar di Papua.

Saat itu, pada 31 Mei 2000, ratusan perwakilan berbagai kelompok di Jayapura menggelar Kongres Nasional Papua Barat II. Secara bulat, mereka menyatakan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk kemudian membentuk negara sendiri. 

Pernyataan keluar itu langsung didukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), pemuda, mahasiswa, perempuan, tahanan politik, dan pejuang. Desakan keluar dari NKRI tersebut disampaikan juru bicara 14 kabupaten/kota dalam pandangan umum Kongres Nasional Papua, yang dibantu dana Rp 1 miliar oleh Pemerintan Pusat itu, Rabu itu. Juru bicara mewakili Kabupaten Jayapura, Merauke, Jayawijaya, Sorong, Manokwari, Fakfak, Paniai, Puncak Jaya, Nabire, Biak, Mimika, Yapen Waropen, Kotamadya Jayapura, dan Kotamadya Sorong. 

Dalam Sidang Pleno III kongres itu, mereka umumnya mengatakan bahwa Papua Barat sudah merdeka sejak 1 Desember 1961, namun Presiden Soekarno ketika itu membubarkannya melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 1 Mei 1963. Selain itu, menurut mereka, proses perjanjian New York 1965 tentang penentuan status politik Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dilaksanakan 1969 cacat hukum karena Parlemen Papua tidak diikutsertakan. Mereka menyebutkan penyerahan Papua Barat ke dalam RI merupakan tindakan konspirasi politik secara sepihak oleh Pemerintah Belanda, Amerika Serikat, RI, dan PBB. Karena itu, para delegasi menyatakan keluar dari NKRI dan menolak Pepera serta menolak otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. 

Juru bicara Kabupaten Mimika, John Songgonau, saat itu mengatakan Pemerintah Amerika Serikat ikut bermain dan menekan Pemerintah Belanda untuk melepaskan Papua kepada Pemerintah RI. Untuk membalas jasa Pemerintah AS, lanjutnya, Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 mengizinkan PT Freeport beroperasi di bumi Cenderawasih walaupun status politik Papua belum dituntaskan. Dia mendesak Presidium Papua untuk minta pertanggungjawaban Pemerintah AS dan PBB segera mengembalikan kedaulatan rakyat Papua. 

Pemandangan umum yang meminta Papua keluar dari RI itu dibahas dalam sidang-sidang komisi di GOR Cenderawasih dan Balai Pendidikan Guru (BPG) Kotaraja, sekitar 15 kilometer arah Barat Jayapura. Kongres Papua yang berlangsung hingga 3 Juni 2000 itu selain dihadiri peserta utusan 14 kabupaten se-Irja juga dihadiri peninjau dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan negara-negara Pasifik. Acara ini juga diliput media elektronik dan kantor berita dari 50 negara. 

Dukungan Papua keluar dari NKRI langsung dikemukakan tiga tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini berkeliaran di belantara perbatasan RI dan Papua Nugini (PNG). Ketiga tokoh OPM dari Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua itu, yakni Jenderal Mathias Wenda, Kelly Kwalik, dan Tadius Yogi. Dukungan itu mereka sampaikan dalam surat yang dibacakan dalam Kongres Papua, Kamis. ''Tidak boleh dibicarakan masalah lain termasuk otonomi khusus dan otonomi seluas-luasnya yang ditawarkan Pemerintah RI. Kongres hanya atur persiapan kemerdekaan Papua Barat,'' tulis ketiga tokoh itu dalam suratnya. 

Dukungan juga datang dari seluruh Pilar Papua, yang terdiri atas pemuda, mahasiswa, perempuan, tahanan politik/narapidana politik, pejuang, dan amber (penduduk Papua yang bukan beretnis melanesia). Mereka menyatakan status Papua Barat berintegrasi dengan RI melalui Pepera tahun 1969 tidak sah karena direkayasa oleh Pemerintah RI, Belanda, Amerika, dan PBB. Sementara itu, ketua Dewan Presidium Papua saat itu, Thom Beanal, meminta Australia tidak mencampuri masalah Papua Barat. 

Thom pun menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid, presiden saat itu, telah menerima laporan yang direkayasa oleh pihak tertentu yang menyatakan Kongres Papua Barat tidak sah, apalagi melibatkan pihak asing. ''Bapak Presiden pasti menerima laporan yang keliru sehingga memberikan pernyataan Kongres Nasional Papua Barat ini tidak sah,'' kata Beanal. Thom menyatakan peserta asing dalam kongres yaitu orang Papua asli yang hidup dan berjuang di perantauan, seperti di Papua Nugini (PNG), Australia, Belanda, dan Afrika. "Walaupun mereka disebut warga asing, tetapi dia adalah orang Papua Barat asli sehingga tidak tepat bila dibilang mereka warga asing yang ikut mencampuri urusan Papua,'' tegasnya. 

Pemerintan pusat tentu mengabaikan hasil kongres tersebut. Namun, kongres tersebut adalah tonggak pertama kalinya berbagai pihak di Papua mengaitkan secara resmi pengoperasian PT Freeport Indonesia dengan kondisi mereka. Sejak saat itu, penempatan PT Freeport sebagai salah satu penghalang utama kemerdekaan Papua jadi wacana yang ramai dibicarakan. Yang menyusul selanjutnya, seperti laiknya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan dimanapun, adalah serangkaian kekerasan dari  berbagai pihak. []

Tulisan disarikan dari pemberitaan Harian Republika pada rentang 2000-2017

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement