Jumat 09 Dec 2016 07:08 WIB

69 Tahun Tragedi Rawagede: Cerita Mak Tijeng, Janda Terakhir (Bagian 1)

Tijeng binti Tasim, janda korban pembantaian Rawagede.
Foto: Angga Indrawan/Republika
Tijeng binti Tasim, janda korban pembantaian Rawagede.

Oleh: Angga Indrawan, Wartawan Republika

Tijeng binti Tasim (90 tahun) hanya bisa terus berbaring di kasur ranjang kayu miliknya. Meski sudah beberapa waktu tak pernah keluar rumah karena kelumpuhan, ia masih terkenal di kampungnya. Tijeng disayang para tetangga. Namanya selalu disebut warga--seolah di luar kepala, jika ditanya siapakah sepuh di kampung Balongsari. Rumahnya kadang menjadi pusat perhatian. Saban tahun atau waktu tertentu, rumah Tijeng kedatangan tamu orang asing, mulai peneliti, sejarawan, aparat daerah, hingga wartawan luar dan dalam negeri.

Begitulah keseharian Tijeng. Banyaknya tamu mungkin yang membuat Tijeng tidak tidur dalam kamar. Dalam kelumpuhan fisiknya, Tijeng tidur di pojok belakang ruang keluarga merangkap ruang tamu. Ruang tidurnya dibatasi tripleks bagian belakang lemari baju, sisi satunya lagi tembok kusam yang memisahkannya dengan ruang dapur. Rumah sederhana yang ditempati Tijeng tanpa langit-langit. Agak pengap dan panas. Mungkin itu yang membuat pintu rumahnya selalu dalam kondisi terbuka. Tijeng tinggal di tengah perkampungan sepi, desa Balongsari--dulu dikenal dengan Rawagede, kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang.

Selain lumpuh, kedua mata Tijeng sudah bertahun-tahun buta. Namun pendengarannya masih cukup baik, sebaik ia mendengar tiap kumandang azan dari mushala persis di depan rumahnya. Suatu siang di penghujung Oktober 2016, Mak Tijeng--begitu para tetangga memanggilnya, berkenan membuka kembali sejarahnya yang begitu kelam. Ia bercerita bagaimana takdir pernah dikenalnya kejam. Sepenggal narasi sejarah kekejaman agresi militer Belanda dua tahun pascakemerdekaan di Karawang. Tragedi yang dikenal dengan Pembantaian Berdarah di Rawagede.

Tijeng merupakan saksi sejarah tentang pembantaian Belanda kepada warga Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 9 Desember 1947. Tijeng juga adalah satu dari 9 janda Rawagede yang menerima kompensasi usai Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag, pada September 2011, memutuskan Pemerintah Belanda bertanggung jawab terhadap nasib janda korban pembantaian. Kini hanya tinggal Tijeng seorang, setelah delapan janda senasibnya satu per satu menyusul sang suami ke peristirahan terakhir. Ia berkenan untuk berbagi cerita, meski beberapa kali meminta istirahat karena kepalanya merasa sakit dipaksa mengingat.

Tijeng seolah menerawang dalam gelap pandangannya. Ia mengingat bagaimana pada 9 Desember 1947 ditakdirkan menjanda setelah Nimung (dalam nisan tertulis Nimong), sang suami tewas di tangan serdadu Belanda yang tak pernah ia tahu rupa wujudnya. Yang ia ingat, fajar belum menyingsing, azan Subuh belum berkumandang ketika kampungnya mendadak riuh. Para pemuda berlari berhamburan keluar rumah saat serdadu Belanda datang bergerombol mengepung kampung. Pun dengan sang suami yang saat itu mencoba bersembunyi. Nimung, yang sehari-hari berprofesi sebagai petani dan pengangkut pupuk, tak lama bersembunyi. Ia memilih ikut dengan para pemuda lainnya mencari persembunyian.

Ketika sang suami pergi tanpa meninggalkan pesan--karena situasi yang begitu mencekam, di mana Mak Tijeng saat itu? Ia lebih memilih berada di rumah biliknya. Dia tahu berada di rumah pun memiliki risiko yang sama. Yang ia ingin lakukan saat itu cuma satu, menyelamatkan bayinya, Karmas (kini 69 tahun), yang saat itu masih berusia dua bulan dalam bedong (kain penutup tubuh bayi agar tetap hangat). Tangis Karmas dibungkam dengan puting susu di tengah kepanikan Tijeng yang tak tahu bagaimana kejamnya takdir bakal menjalankan tugas.

"Mak di rumah, selimutan, menyusui Karmas agar tangisnya tak makin kenceng," ingat Mak Tijeng, saat menceritakan kejadian saat itu.

Bersambung..

Baca: 69 Tahun Tragedi Rawagede: Menggali Sendiri Lubang Kubur Suami (Bagian 2)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement