Senin 01 Aug 2016 06:01 WIB
Metal versus Orde Baru

Poros Metal Moskow-Jakarta

Para penonton memenuhi konser Monster of Rock 1991 di Moscow, Uni Soviet.
Foto: AP Photo/Massimo Alabresi
Para penonton memenuhi konser Monster of Rock 1991 di Moscow, Uni Soviet.

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Lapangan Udara Tushino di Moskow pepak oleh manusia-manusia pada Sabtu sore di akhir bulan September 1991. Musim dingin yang menjelang tak menghalangi hadirin yang kebanyakan masih muda belia.

Langit belum gelap ketika alunan terompet dari Extacy of Gold gubahan komponis Italia Ennio Morricone menguar syahdu dari pengeras suara dekat panggung di ujung sebelah timur lapangan udara. Ketika komposisi musik itu selesai, riff pembuka "Enter the Sandman" langsung menggeber meledak-ledak.

Dalam rekaman video konser itu, James Hetfield nampak sekejap tertegun meski tangan-tangannya tetap sibuk memainkan gitar. Dari atas panggung menatap lautan manusia yang membludak hingga nyaris menutupi cakrawala. Lautan manusia yang bergolak melonjak-lonjak, mengepalkan tangan, dan membanting kepala.

New York Times saat itu mencatat jumlah penonton merentang dari angka 150 ribu hingga setengah juta orang. Angka resmi yang dikeluarkan pemerintah kemudian jauh lebih dahsyat: 1,4 juta orang. 53 orang tewas pada konser itu hari.

Hanya sebulan sebelum konser itu, sebuah kudeta diupayakan para pimpinan garis keras Partai Komunis Uni Soviet. Mereka hendak mendepak Presiden Mikhail Gorbachev karena tak suka dengan agenda reformasi dan liberalisasinya.

Upaya pada 17 Agustus 1991 tersebut kemudian gagal, namun Uni Soviet tak bisa lagi dipertahankan. Tiga bulan saja selepas konser di Moscow, tak ada lagi yang namanya Uni Soviet. Moscow akhirnya mengabulkan permintaan merdeka negara-negara anggota kesatuan komunis tersebut.

Dalam konteks itu, konser yang digelar Metallica bersama Pantera, AC/DC/ dan The Black Crows dalam rangkaian tur Eropa Monster of Rock 1991 tersebut bukan sekadar pagelaran musik. Perusahaan media AS Time Warner yang menyeponsori konser gratisan itu menyebutnya sebagai perayaan kebebasan dan demokrasi. Ia adalah penanda kemenangan Amerika Serikat (AS) dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet dan komunisme dari segi kebudayaan.

Menurut jurnalis sekaligus sejarahwan Inggris Frances Stonor Saunders dalam bukunya "Who Paid the Piper?: CIA and Cultural Cold War" (1999), ‘Perang Dingin Budaya’ adalah salah satu langkah yang secara matang dirancang Washington untuk membendung Moskow dan komunisme sejak 1950-an.

Saunders menuliskan, mulanya Badan Intelijen AS (CIA) mendanai Kongres untuk Kebebasan Budaya, badan advokasi yang dibentuk pada 1950. Lembaga tersebut aktif mengkampanyekan dan menyeponsori seni rupa kontemporer semacam lukisan abstrak Jackson Pollock.  Tak tanggung-tanggung, organisasi tersebut menjalankan misinya di 35 negara.

Dalam kesenian dan kebudayaan, salah satu argumen yang coba mereka bangun melalui jejaring intelektual di berbagai negara adalah “seni untuk seni” sebagai penangkal realisme sosial para seniman komunis.  Argumen serupa disuarakan para penandatangan Manifesto Kebudayaan di Indonesia pada 1963 sebagai konter mahzab berkesenian Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang dekat dengan komunisme dan tengah naik daun saat itu.

Seperti di Soviet, penetrasi seni budaya AS di Tanah Air juga terkait erat dengan keruntuhan komunisme. Selepas Soeharto memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus menyudahi Orde Lama, gerbang penahan budaya AS yang sebelumnya dijaga ketat oleh rezim Presiden Sukarno jadi longgar. Film dan musik barat yang sebelumnya dikampanyekan sebagai kekuatan perusak mental pemuda perlahan mulai mengalir masuk.

Sementara pada 1980-an, wadah budaya yang digunakan AS sebagai alat perang juga mulai bergeser dari seni tinggi ke budaya pop. Film, serial televisi, musik, olah raga, hingga gaya pakaian didorong merangsek ke seantero dunia. Jadi corong untuk menegaskan propaganda soal adiluhungnya nilai-nilai AS seperti kebebasan pribadi, demokrasi, dan kapitalisme. Alih-alih jajaran elite seni-budaya, kali ini sasarannya para remaja dan pemuda.

Tak hanya di Uni Soviet, budaya pop barat, terutama musik, ikut mendampingi runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1989. Lagu-lagu ternama seperti “Heroes” (1976) dari David Bowie, “Nikita” (1985)  dari Elton John, “Wind of Change” (1990) gubahan grup rock Scorpion, jadi latar peristiwa tersebut.

Di Cina, pada pertengahan 1989, ratusan ribu pemuda juga memepaki alun-alun Tian An Men di Beijing guna mendorong demokratisasi. Profesor sosiologi Universitas Chicago Dingxin Zhao, dalam buku “The Power of Tiananmen” (2001) menilai, peristiwa itu didahului sejumlah “demam”. Di antaranya Demam Budaya Tinggi di kalangan intelektual Cina yang menjura pemikiran filsafat barat serta kebudayaan barat. Di kalangan anak muda, terjadi Demam Budaya Pop yang ditandai kegemaran pada gaya pakaian barat, makanan barat, juga film dan musik barat. Meski upaya reformasi total di Tian An Men gagal, Partai Komunis Cina pada akhirnya membuka diri terhadap perdagangan global dan kemudian mendorong Cina jadi kekuatan ekonomi dunia.

Menurut guru besar kebudayaan Illinois State University, Lane Crothers, dalam bukunya "Globalization and American Popular Culture" (2006), musik rock memang jadi salah satu wahana paling ampuh menyebar nilai-nilai AS. Pasalnya, selain memang menyasar anak muda, ia juga lekat dengan imaji pemberontakan terhadap status quo.

Bonus Demografi

Telaahan itu jadi relevan di Indonesia karena penetrasi budaya barat sangat terbantu demografi. Era 1990-an mengawali ledakan warga usia produktif yang menurut laporan Bank Dunia nantinya bakal jadi bonus demografi pada awal milenium baru.

Gambarannya, pada 1971, Sensus Penduduk menunjukkan bahwa warga Indonesia berusia 15-35 tahun  berjumlah sekira 35,8 juta alias 30,3 persen dari total masyarakat. Jumlah itu pada 1980 bertambah menjadi sekira 57 juta pada 1980 atau 32,4 persen dari total penduduk. Memasuki dekade 1990-an, jumlahnya melonjak lagi jadi 63,5 juta atau 35,6 persen.

Rerata kenaikan persentase jumlah pemuda selama dua dekade tersebut selalu melampaui rerata kenaikan penduduk usia 45 tahun ke atas yang pada 1990 jumlahnya sekira 16,7 persen dari total penduduk.

Dan para pemuda Indonesia pada 1990-an bukan makhluk yang seluruhnya bahagia. Era itu juga diwarnai dengan menganggurnya 2 juta pemuda meski pemerintah selalu memamerkan pertumbuhan ekonomi yang menjulang hingga mencapai 6,5 persen.

Ada juga arus urbanisasi yang sudah mulai mengalir sejak 1970-an. Melalui arus tersebut, banyak anak-anak muda dari daerah yang tetiba berkenalan dengan budaya populer yang telah lebih dulu bercokol di kota-kota besar Indonesia.

Pada 1971, jumlah anak muda usia 15-34 tahun di DKI Jakarta berkisar pada angka 37, 8 persen. Jumlah itu naik sedikit saja sepuluh tahun kemudian pada 1980 menjadi 39,4 persen. Tapi pada 1990, jumlah anak muda usia 15-34 tahun melonjak menjadi 45,1 persen dengan jumlah 3,7 juta dari total 8,2 juta penduduk Jakarta.

Kombinasi penetrasi dan demografi tersebut kemudian jadi formula yang mencabik-cabik struktur yang dianggap mapan di Indonesia. Pada Januari 1993, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan menyalakan tanda bahaya. Ia saat itu menilai sedang terjadi perubahan serius di masyarakat melalui para remaja dan pemuda.

Dalam bahasa Fuad Hasan, yang terjadi pada periode tersebut adalah sejenis transformasi kebudayaan. Perkenalan dengan nilai-nilai baru yang dihantarkan budaya pop barat membuat para pemuda lebih sukar secara sukarela menerima doktrin nilai dan norma dari negara maupun ayah-bunda mereka.

Sejak berdirinya Republik, seperti dicatat budayawan  sekaligus peneliti di LIPI, Taufik Abdullah, dalam "Pemuda dan Pembangunan" (1974), pemuda Indonesia sudah dipatri dengan nilai-nilai tertentu. Mereka dibebani dengan istilah-istilah seperti “generasi penerus bangsa”, dan “generasi harapan bangsa”. Taufik Abdullah meramalkan, hal tersebut bisa jadi bahan gesekan antargenerasi.

Para pemuda Indonesia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an kiranya jengah dengan beban masa depan bangsa yang disematkan di bahu mereka tanpa mereka minta. Ditanamkan lewat berbagai propaganda pemerintah dan program-program cuci otak di sekolah-sekolah. Bahasa saat itu, sebagian mereka (barangkali dalam jumlah besar) hanya ingin jadi “anak gaul”.

Pemerintah bukannya abai terhadap fenomena tersebut. Tapi selain terlambat, Orde Baru juga memaksakan program-program penangkal yang kebanyakan represif dan kemudian terbukti tak efektif.

Transformasi budaya tak lagi bisa dicegah. Angin perubahan, seperti yang dilantunkan grup musik cadas Scorpion pada 1991, bertiup kencang pada salah satu periode paling menentukan dalam sejarah umat manusia tersebut dan tak bisa lagi dibalik arahnya. Menggerus nilai-nilai tempatan dari Moskow hingga Jakarta. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement