Rabu 13 Jul 2016 08:00 WIB
Kontroversi Perumus Pancasila

Air Mata Hilangnya Tujuh Kata Piagam Jakarta

Kasman Singodimedjo.
Foto: Blogspot.com/ca
Kasman Singodimedjo.

Oleh: M Akbar Wijaya

Wartawan Republika

Tahun-tahun berlalu. Namun sedih dalam benak Kasman Singodimedjo tak juga beranjak. Airmatanya menetes saban mengingat perannya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada pagi 18 Agustus 1945. “Saya lah yang ikut bertanggung jawab dalam masalah ini (menghapus tujuh kata Piagam Jakarta-red), dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman seperti ditulis cendikiawan Muhammadiyah Lukman Harun dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun.

Menurut Lukman dalam sejumlah pertemuan Kasman kerap mengungkapkan kesedihan serupa. Kesedihan Kasman bukan tanpa alasan.

Pagi itu, Sabtu 18 Agustus 1945, usia republik belum genap sehari. Rencananya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan bersidang dengan agenda mengesahkan UUD 1945, mengangkat presiden dan wakil presiden, serta mengangkat kepala daerah. Namun sidang yang dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB terpaksa molor beberapa jam. Sebab, ada persoalan sensitif dan krusial yang mesti segera diselesaikan lebih dahulu oleh sejumlah anggota PPKI.

Persoalan itu ialah tuntutan menghapus tujuh kata  dalam Pembukaan UUD 1945 yang saat itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Tujuh kata dimaksud terdapat dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengungkapkan tuntutan tersebut datang kepadanya dari para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur pada sore 17 Agustus 1945 melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Pemuka agama Kristen dan Katolik menilai kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bersifat diskriminatif terhadap kelompok non-Muslim.

Bung Hatta yang termasuk perumus Piagam Jakarta di Panitia Sembilan menolak anggapan itu. Dia menjelaskan kalimat yang mewajibkan penerapan syariat Islam tidak bertujuan mendiskriminasikan kelompok minoritas. Sebab kalimat itu hanya berlaku bagi para pemeluk Islam. Apalagi, kalimat itu juga telah disetujui AA Maramis yang merepresentasikan kelompok non-Muslim di Panitia Sembilan.

“Aku mengatakan bahwa itu bukan diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam,” kenang Hatta dalam buku Di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Namun penjelasan Bung Hatta tak  berbuah hasil. Opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen dan Protestan akan tetap bersikukuh meminta tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Jika kalimat itu tetap dipertahankan, mereka mengancam Indonesia Timur tidak akan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Bung Hatta akhirnya mengalah dan berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang PPKI besok (18 Agustus 1945). Bung Hatta sadar jika republik yang baru diproklamasikan pecah, maka Belanda akan mudah kembali menjajah. “Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai,” kenang Hatta.

Esok paginya sebelum rapat PPKI dimulai, Bung Hatta mendiskusikan tuntutan para pemuka agama Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur bersama sejumlah tokoh Islam. Mereka yang terlibat ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement