Sabtu 21 May 2016 05:31 WIB
Runtuhnya Orde Soeharto

Akhir Cerita Penguasa Orba: Drama di Balik Mundurnya Soeharto

Soeharto mundur.
Soeharto mundur.

Oleh: M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta, pagi 11 Maret 1998. Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Haji Muhammad Soeharto berdiri di pangggung ruangan Grahasabha Paripurna Kompleks Parlemen Senayan. Suasana khidmat tercipta ketika ia bersiap mengucap sumpah.

Di bawah naungan kita suci Alquran, di hadapan 976 anggota MPR, dan disaksikan jutaan pasang mata rakyat Indonesia melalui televisi, pria kelahiran Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta 8 Juni 1921 itu berikrar dengan nama Allah akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya. 

“Insya Allah, lima tahun nanti saya akan berdiri di mimbar ini untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepemimpinan saya di hadapan wakil-wakil rakyat Indonesia. Semoga saya tidak mengecewakan harapan rakyat,” kata Soeharto dalam pidato usai pembacaan sumpah.

Sumpah itu menjadi sumpah ketujuh Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan setelah Soeharto merampungkan pidato. Selanjutnya penerima mandat Surat Perintah 11 Maret 1966 ini bertolak menuju kediamannya di Jalan Cendana untuk menggelar syukuran potong tumpeng. 

Di sana telah menanti putera-puteri, cucu, dan kerabat Soeharto. Selain keluarga, hadir pula Wakil Presiden BJ Habibie dan istri, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, dan Kapolda Mayjen Pol Hamami Nata, staf istana, dan Paspampres. Semua yang hadir bersuka cita memberi selamat atas kembali terpilihnya Soeharto sebagai orang nomor satu di republik ini.

Saat itu, duet Soeharto-Habibie dinilai klop mengatasi krisis ekonomi yang sedang mendera Indonesia. Mereka yang menyaksikan momentum bersejarah itu mungkin tidak ada yang membayangkan jika sumpah yang diucapkan Soeharto untuk memimpin negeri selama lima tahun akan berakhir hanya dalam hitungan 71 hari.

Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden sudah terprediksi sejak jauh hari. Pada malam resepsi HUT Golkar ke-33 20 Oktober 1997, Ketua Umum Golkar Harmoko dalam pidato meyakinkan dan berbusa-busa meminta kesediaan Soeharto kembali maju sebagai presiden. Harmoko m   engklaim seluruh rakyat masih mendukung Soeharto.

Dukungan penuh Golkar menjadikan Soeharto satu-satunya calon kuat presiden saat itu. Sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar sekaligus presiden, Soeharto dapat mengendalikan 80 persen kekuatan politik di DPR hasil Pemilu 1997 yang berasal dari 325 kursi Fraksi Golkar dan 75 kursi Fraksi ABRI. Melalui Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar dan beberapa orang koordinator harian pengganti, Soeharto juga memegang kendali 83 persen unsur politik di MPR yang terdiri dari 576 kursi Fraksi Golkar, 113 kursi Fraksi ABRI, dan 149 kursi Utusan Daerah.

Namun yang menarik, Soeharto tidak serta merta mengamini permintaan Harmoko. Dalam pidatonya, Soeharto meminta pengurus Golkar mengecek kembali apakah rakyat benar-benar masih menginginkan dirinya menjadi presiden. Kalau pun rakyat tak menghendakinya lagi menjadi presiden, Soeharto menyatakan siap lengser ke prabon mandek pandito (berhenti dari jabatan beralih menjadi pemberi nasihat). 

“Sebab bila kita tidak benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya mungkin terjadi, saya sebagai Golongan Karya atau kader Golkar akan dituduh sebagai penghalang daripada suksesi, mungkin juga saya sebagai kader Golkar akan dituduh menghalangi daripada regenerasi, mungkin juga saya dituduh menjadi kader Golkar yang tidak tau diri, karena sudah anem kali menjadi presiden masih mau menerima yang ke tujuh kalinya,” kata Soeharto.

Pidato itu kemudian dibaca sebagian masyarakat—khususnya kaum oposisi—sebagai bentuk keengganan Soeharto kembali menjadi presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement