Sabtu 21 Oct 2017 07:05 WIB

Mengenang Suasana Pasar Meester Jatinegara

Suasana Pasar Meester 1940-an
Foto: Arsip Nasional
Suasana Pasar Meester 1940-an

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pasar Meester Cornelis diabadikan pada 1940-an (sebelum pendudukan Jepang). Letaknya ada di Jalan Jatinegara Barat--kini lebih dikenal sebagai Pasar Jatinegara.

Seperti masa lalu, Pasar Jatinegara kini termasuk pasar yang ramai di samping pasar-pasar lain, seperti Tanah Abang, Senen, dan Glodok. Sekitar 70 tahun lalu, pasar ini begitu sibuk. Transaksi jual beli ramai.

Pada masa itu, para pedagang masih menggunakan pikulan dengan telanjang dada dan menggunakan sepatu dari ban bekas --benda yang kini kerap digunakan para pendemo untuk membakar dan memblokir jalan. Sementara itu, delman sering ngetem menunggu penumpang.

Delman kini juga sudah mulai menghilang di Jakarta. Gerobak yang ditarik kuda ketika itu merupakan alat angkut barang yang beroperasi di pasar-pasar. Toko yang dimiliki keturunan Tionghoa masih dapat dilihat melalui bentuk bangunannya yang bergaya negeri leluhur dengan bagian atas genting berbentuk runcing.

Pada 1930-an, setelah terjadi krisis ekonomi yang dikenal dengan istilah malaise, banyak pendatang dari pedesaan ke Batavia dan Meester Cornelis. Bahkan, ketika itu, penduduk mencapai 650 ribu jiwa. Banyaknya pendatang saat itu juga disebabkan keinginan mengadu nasib di Batavia.

Dulu, Pasar Meester yang letaknya sekitar 15 km selatan pusat Kota Batavia lama memiliki hari pasar yang jatuh tiap Kamis. Pasar ini mengabadikan nama Meester Cornelis Senen, seorang guru beragama Kristen dan juga seorang pendeta yang berasal dari Banda Neira. Ia memiliki daerah ini pada 1661. Inilah asal mula nama Mester yang kini masih disebut oleh orang-orang tua di Jakarta.

Belanda dulu membangun benteng di Jatinegara. Letaknya ada di dekat Sungai Ciliwung yang kini berdampingan dengan Kampung Pulo, daerah yang menjadi langganan banjir. Pada masa Hindia Belanda sampai awal abad ke-20, Jatinegara termasuk Matraman merupakan satu keresidenan yang secara administratif terpisah dari Batavia.

Meester Cornelis Senen oleh Pemerintah Hindia Belanda memperoleh hak untuk menebang pohon di tepi Ciliwung, jauh sebelah selatan kota. Untuk melindungi para penebang hutan, pada 1672 tanah milik Meester Cornelis yang seluas lima hektare, antara Cipinang dan Ciliwung, dijual. Waktu itu, di sini sudah terdapat Kampung Bali yang sekarang bernama Kampung Bali Matraman.

Untuk melindungi para penebang hutan dan tukang kebun dari serbuan pasukan Mataram, rumah mereka dikelilingi pagar bambu berduri hingga sekarang ada nama Kampung Bukiitduri. Di dekatnya, terdapat tanjakan yang kini bernama Bukitduri Tanjakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement