Selasa 07 Mar 2017 07:00 WIB

Ernest, Zakir Naik, dan Cerita Warga Tionghoa Mencari Peruntungan di Batavia

Kampung cina di Batavia tahun 1910.
Foto: arsip nasional
hukuman gantung

Sampai 1950-an ada dua macam etnis Cina. Cina totok atau singkek, yaitu mereka yang belum lama datang dan lahir di Tiongkok. Lainnya, Cina peranakan yang lahir di Indonesia dan telah berbaur. Kelompok pertama lebih ulet dalam bisnis. Seperti, Oei Tiong Ham, raja gula dan konglomerat pertama di Asia Tenggara.

Padahal, ayahnya adalah kuli pelabuhan saat pertama kali datang ke Semarang pada akhir abad ke-19 dan kemudian menjadi pedagang pikulan keluar masuk kampung membawa barang pecah belah. Hanya dalam beberapa tahun ayah Oei ini jadi tajir dan mewariskan kekayaan pada puteranya. Hal sama dialami Oey Tay Lo, ketika tiba di Pekalongan dari daratan Cina ia bisa disebut gembel. Lalu ia memikul barang-barang kelontong ke desa-desa dengan bahasa Jawa sepotong-potong. Setelag kaya raya hijrah ke Batavia dan tinggal di Pintu Kecil, Jakarta Kota.

Setelah meninggal, pedagang kaya raya ini meninggalkan bejibun warisan pada putranya Oey Tambahsiah, yang kemudian jadi kongcu (pemuda) hidung belang alias playboy. Salah satu kebiasaan Oey kecil bila tiap bangun tidur buang air besar di pinggir kali di belakang kediamjannya di Pintu Kecil. Di dekatnya sudah puluhan orang menunggu. Karena bila si playboy selesai buang air, ia membersihkannya dengan tiga lembar uang kertas.

Mereka yang sejak lama menunggu, kemudian berebut uang yang sudah bercampur kotoran manusia ini. Tidak jarang mereka saling berkelahi dan ada yang kepalanya pecah lantaran dijorokin (didorong) temannya. Ada pula yang kecemplung ke kali dan mukanya belepotan nacis. Kongcu yang tampan ini dihukum gantung di halaman gedung balaikota (kini Museum Sejarah DKI) karena membunuh dan memperkosa. Ia juga membangun suhian (tempat pelacuran) di Ancol yang kini jadi tempat rekreasi.

Warga Tionghoa ikut juga berperan dalam pembangunan kota Jakarta. Seperti Phoa Beng Gam, kapiten Cina kedua yang ahli pengairan pada masa VOC. Ia berhasil menggali kanal dan kali Molenvliet yang kini diapit Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk. Kali Ciliwung yang berbelok-belok ini telah diluruskannya pada abad ke-17.

Warga Tionghoa juga berjasa dalam bidang kesusastraan yang dikenal dengan Kesustraan Melayu Cina. Sekalipun kesusastraan ini sudah sudah ada sejak 1870, namun hingga detik ini kesusastraan Indonesia masih dianggap baru muncul pada akhir Perang Dunia I (1918), yaitu ketika terbentuknya Balai Pustaka.

Menurut Claudine Salmon, sarjana yang menekuni Kesusastraan Tionghoa Melayu, selama hampir 100 tahun (1870-1960) kesusastraan ini melibatkan 806 penulis dengan 3005 karya. Sebaliknya, sesuai catatan Prof Dr A Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967) kesusastraan modern Indonesia (tidak termasuk terjemahan) hanya melibatkan 175 penulis dan sekitar 400 karya. Dihitung sampai 1979 terdapat sebanyak 284 penulis dan 770 karya.

Warga Tionghoa juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah baik berbahasa Cina maupun Melayu. Seperti, Pemberita Betawie yang terbit pada akhir abad ke-19. Surat kabar Keng Po dan Sin Po pernah merajai persuratkabaran di Jakarta. Sedangkan, majalah yang dimiliki orang Tionghoa antara lain Star Weekly, Liberty, Panca Warna dan Mustika Ratu. Star Weekly dipimpin PK Ojong yang kemudian mendirikan Harian Kompas bersama Jacob Oetama. Sebelum G30S/PKI, di Jakarta terdapat tiga suratkabar berbahasa Cina, yaitu Obor, Garuda dan Bintang. Ketiganya diberangus pemerintah orba, termasuk larangan penerbitan aksara Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement