Sabtu 03 Dec 2016 07:00 WIB

Benarkah Neil Amstrong Manusia Pertama yang Mendarat di Bulan?

Neil Amstrong
Foto: Biography.com
Neil Amstrong

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Neil Amstrong, disebut-sebut manusia pertama yang mendarat dan berjalan di bulan, meninggal dunia dalam usia 82 tahun, Ahad, 25 Agustus 2012. Ketika dia menjejakkan kakinya di permukaan bulan puluhan tahun lalu, terjadi kehebohan di dunia dan juga di Indonesia. Banyak yang tidak memercayai kalau ada manusia bisa ke Bulan.

"Numpak (naik) kereta api saja dari Jakarta pagi hari baru nyampe di Surabaya malam hari," kata seseorang dari sebuah desa yang bekerja di Jakarta.

Bukan hanya dia, melainkan banyak lagi yang tidak memercayainya. Sebelum Amstrong berjalan di permukaan bulan selama dua jam 32 menit pada 20 Juli 1969, di Jakarta sedang gandrung lagu berjudul "Di wajahmu kulihat bulan". Lagu itu dinyanyikan Sam Saimun, penyanyi kesohor era 1960-an dan beberapa kali terpilih sebagai 'bintang radio' yang ketika itu diselenggarakan RRI setiap tahun.

Lirik lagu seriosa tersebut di antaranya, "Di wajahmu kulihat bulan. Bersembunyi di sudut kerlingan. Sadarkah tuan kau ditatap insan yang haus akan belaian". Bulan memang kata-kata pujaaan untuk gadis dan jejaka yang tengah kasmaran.

Ketika terjadi perebutan keunggulan untuk saling mendahului mendarat di ruang angkasa antara dua kekuataan adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet, hal tersebut juga berpengaruh di Indonesia. Bung Karno tidak mau kalah.

Dalam satu pidatonya yang disiarkan media secara luas, ia menyatakan Indonesia yang lebih dulu unggul ke angkasa luar. Menurut Presiden Soekarno, ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 1883, debu dan kerikil gunung berapi itu memasuki ruang angkasa dan berada di orbitnya hingga sekarang.

Meski media massa belum sehebat dan secanggih sekarang, berita-berita misi sputnik ke planet (ruang angkasa) yang merupakan adu gengsi antara Presiden Kennedy dan Perdana Menteri Nikita Khrushchev terasa sekali getarannya di Jakarta. Getaran ini menyebabkan tempat yang terkenal di Jakarta sebagai pusat prostitusi namanya pun berubah menjadi "Planet Senen", entah siapa yang menamakan demikian.

Lokasinya kira-kira dari pintu kereta api Senen sampai ke depan Stasiun Senen hingga ke dekat Gunung Sahari sejauh lebih dari 500 meter. Di rel-rel dan gerbong-gerbong KA, ribuan wanita PSK berjejeran mencari mangsa menunggu tawaran. Mereka tidak mengenal malu karena ada yang "buka praktek" berdekatan dengan sebuah masjid di Senen.

Meski "daerah hitam" ini sudah lebih dari 40 tahun "dibersihkan" Gubernur DKI Ali Sadikin dengan menggusur mereka ke Kramat Tunggak, Jakarta Utara, yang ketika itu masih berupa rawa-rawa, nama Planet Senen sampai sekarang masih banyak diingat orang. Bukan hanya di Planet Senen, didekatnya, yakni di Jalan Kramat Raya, kala malam hari dipenuhi kupu-kupu malam. Mereka berpraktek di becak-becak.

Di sekitar Jalan raya Kramat dari bioskop Rivoli (kini sudah tergusur) sampai ke Proyek Senen, di kaki lima kita jumpai para pedagang yang mangkal pada malam hari. Kala itu, di jalan ini juga berpraktik seorang dokter yang dikenal dengan dr Basri yang nongkrong dengan alat tensi meter dan jarum suntik.

Ketika itu, injeksi penisilin dianggap ampuh untuk menghindari penyakit "raja singa". Waktu itu belum dikenal HIV/AIDS.

Menurut Bang Ali, dia melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak meniru tempat serupa di Surabaya. Beberapa tahun lalu, lokalisasi di Kramat Tunggak itu dijadikan sebagai Islamic centre oleh Gubernur DKI Sutiyoso. Sekarang, banyak kegiatan keagamaan di sini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement