Kamis 24 Nov 2016 16:10 WIB

DI/TII, Pembebasan Irian Barat, dan Gejolak Politik 1960-an

Sukarno
Foto:

Pada 1960-an, demo-demo antikorupsi dan menolak kenaikan harga seperti juga sekarang banyak terjadi. Ketika itu, mulai banyak para bos yang hidupnya sudah binnen atau the haves. Apalagi, dengan bermunculan perumahan-perumahan baru di Jakarta yang diisi oleh golongan the haves. Sementara, sebagian besar rakyat sangat melarat. Entah untuk mengejek maka muncullah istilah orang kaya baru (OKB).

Di Jakarta, banyak terlihat spanduk dengan huruf-huruf besar berbunyi "Ganyang Koruptor". Ada poster-poster dan baliho di jalan-jalan berbunyi "Ganyang Setan Desa" atau "Setan Kota". Maksudnya, para bos yang tidak memihak rakyat kecil, terutama petani dan buruh.

Poster semacam ini terutama dipasang oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Ada istilah populer kala itu, yaitu 'kapbir', singkatan dari kapitalis birokrat, kelompok yang dianggap kontrarevolusi (kontrev). Cap "kontrev" dalam arti tidak mendukung program pemerintah dalam masa demokrasi terpimpin sangat ditakuti.

Para musikus, salah satunya Koes Ploes, yang dianggap kontrev telah dicekal dan dipenjara. Lagu-lagunya dianggap tidak revolusioner. Berupa musik ngak-ngik-ngok dan kontra revolusioner.

Waktu itu, pertentangan antara pro dan antikomunis terjadi di mana-mana. Kelompok-kelompok yang antirevolusioner atau kontrev menjadi bulan-bulanan demo, termasuk HMI yang paling keras diserang. Tapi, upaya PKI dan kelompok kiri lainnya untuk membubarkan organisasi massa Islam ini tidak pernah berhasil.

Jenderal Ahmad Yani termasuk pendukung HMI dan tidak membiarkan organisasi mahasiswa ini dibubarkan. Dia juga sangat keras menolak tuntutan kelompok kiri agar petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan kelima.

Di bidang angkutan, becak merupakan raja jalanan ketika itu yang sekarang ini diambil sepeda motor. Masa itu, lalu lintas juga diramaikan sepeda. Para pekerja, pelajar, dan mahasiswa lebih menggandrungi naik sepeda.

Di bioskop dan tempat hiburan, tersedia tempat parkir untuk sepeda. Kala itu, belum banyak sepeda motor yang berseliweran di Jakarta. Sepeda motor paling banyak buatan Eropa dan Amerika Serikat. Masih sedikit sekali buatan Jepang dan yang pertama masuk dari Negeri Sakura adalah Honda.

Seingat saya, kala itu tidak dan bahkan tidak pernah terjadi pencurian sepeda motor. Dalam jumlah tidak banyak, hanya sepedalah sering menjadi sasaran pencurian hingga pemiliknya harus memiliki kunci sepeda.

Karena belum ada mal, pertokoan, dan arena hiburan seperti sekarang maka yang menjadi sasaran hiburan adalah bioskop. Tapi, akibat politik antinekolim, bioskop tidak lepas dari politik. Begitu hebatnya, politik anti-Barat hingga film-film Amerika Serikat dan dari negara-negara Eropa Barat menjelang G-30-S diganyang dan kemudian dilarang beredar di Indonesia.

Lalu, digantikan film-film revolusioner dari Cina dan negara-negara Eropa Timur yang menyanyikan film-film propagada yang tidak disukai sebagian besar masyarakat. Maka, sebagian besar bioskop berubah fungsi menjadi gudang, pertokoan, dan perumahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement