Rabu 23 Nov 2016 14:40 WIB

Kala Kehidupan di Batavia Serasa di Eropa

Pasan dan Benteng Batavia Abad ke-17
Foto: Arsip Nasional
Pasan dan Benteng Batavia Abad ke-17

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

 

Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kalapa pada 1815 menyaksikan Batavia yang sebelumnya mendapat predikat ‘Ratu dari Timur’ berubah seolah-olah merupakan kota hantu. Ia kemudian menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jl Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Couperus mendapati beberapa gedung di kota tua sudah dihancurkan dan rata dnegna tahan, termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup megah ketika itu.

Penghancuran itu dilakukan gubernur jenderal Willem Herman Daendels pada 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan ‘kuburan’ orang Belanda.

Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan daerah elite orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan bagian kota Batavia yang paling indah. ”Mereka membangun rumah-rumah di tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland,” tulis Couperos.

Di pusat pemerintahan VOC itu penduduk Kota Batavia saban hari disibukkan ke kantor, pasar atau sekadar pesiar keliling kota, sembari memamerkan kekayaan. Nyonya-nyonya besar Kompeni, serta nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat-tingkat kayak kurungan ayam. Mereka keluar mencari angin di samping kanal dan terusan Batavia dengan congkak.

Para budak dan bedinde (asisten rumah tangga) berjalan mengiringi mereka. Memayungi wajahnya dari sengatan matahari tropis yang panas. Para budak wanita terus mengipas-ngipas mencari angin buat sang nyai yang terus mengunyah sirih pinang, memerahi bibirnya.

Sementara, di bawah keteduhan pohon kenari yang berjejer rapi di sepanjang tepian kanal dan terusan, penduduk Batavia lalu lalang di tengah seribu satu kesibukan. ”Saat senja menjelang, rumah-rumah pemandian di sepanjang tepian dinding kanal dan terusan, dipenuhi wanita telanjang dada berendam di air, zonder khawatir buaya pemangsa pria iseng yang datang mengintip,” tulis Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah. Waktu itu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, pemuda dan pemudi yang tengah kasmaran menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal-kanal dengan perahu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement