Ahad 12 Jun 2016 07:00 WIB

Riwayat Banjir Jakarta, dari Raja Purnawarman Hingga Ahok

Pengendara becak melintasi banjir rob di Kawasan Pasar Ikan Muara Baru, Jakarta, Selasa (7/6). (Antara/Wahyu Putro A)
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Pengendara becak melintasi banjir rob di Kawasan Pasar Ikan Muara Baru, Jakarta, Selasa (7/6). (Antara/Wahyu Putro A)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Jakarta belum bebas dari banjir. Apalagi saat bertepatan dengan tahun baru Cina alias Imlek, bagi masyarakat Cina hujan di saat-saat Imlek diyakini akan membawa hokki alias rezeki.

Laksana air yang ngocor dari langit, begitu sebagian pendapat mereka. Tapi tentu saja mereka tidak mengharapkan banjir saat Imlek yang juga tidak pernah luput menimpa kawasan China Town.

Sayangnya banjir tiap tahun diperkirakan bakalan lebih luas karena daya serap air tanah semakin rendah dan penyempitan sungai semakin parah. Di samping pemanasan global.

Tidak hanya itu, para pengembang juga dituding sebagai salah satu penyebab. Bila diingat 80 persen daratan Jakarta sudah dipadati bangunan.

Padahal dalam Rencana Induk Jakarta 1965–1985 ruang terbuka hijau sebagai taman kota seharusnya 60 persen. Dulu, daerah Kebayoran Baru dan Menteng semasa Gubernur Ali Sadikin hanya diperuntukkan bagi perumahan.

Dari kedua kawasan di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, para pemukimnya pergi bekerja keluar. Kini kedua daerah itu berdiri perkantoran dan berbagai pusat bisnis yang membeludak.

Dulu kawasan Kuningan, Setiabudi, dan Kemang merupakan pusat bisnis susu. Ratusan warga Betawi dengan mengayuh sepeda pagi dan sore mengantarkan susu yang dikemas dalam botol ke pelanggan-pelanggannya di Menteng, Cikini, dan Kebon Sirih. Sementara, warga Betawi berduit memelihara puluhan sapi untuk diperah susunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement