Ahad 05 Jun 2016 18:24 WIB
Mengenang Muhammad Ali

Dari Mencampakkan Medali Emas Hingga Naik Pesawat Pakai Parasut

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Muhammad Ali berdoa
Foto: Musliminc.com
Muhammad Ali berdoa

REPUBLIKA.CO.ID, Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat (AS), pernah diminta untuk mengeruk dasar lumpur di Sungai Ohio di Louisville. Jim Crow Museum, dalam tanya jawab tentang Muhammad Ali, pada 2005 menyampaikan permintaan "usil" tersebut agar dapat mengerti tentang kemarahan Ali yang waktu itu masih bernama Cassius Clay.

Ali mencampakkan medali emas yang dia peroleh dari Olimpiade 1960 di Roma, Italia, ke Sungai Ohio beberapa hari setelah kembali dari pesta olahraga paling bergengsi di dunia itu. Ali tak menerima perlakuan rasial orang-orang kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam di negaranya sendiri. Terutama terhadapnya.

Pengerukan sungai memang tak dilakukan. Sampai hari ini pun memang tidak. Tetapi yang pasti, medali emas bertuliskan Pugilato itu tak ditemukan. Pun sampai Ali tutup usia, Sabtu (4/6), medali tersebut tak berjejak.

Pada 1976 dalam sebuah pengakuan kepada penulis otobigrafi, Richard Durham, Ali mengungkapkan medali tersebut memang sudah lama hilang. The New York Times menceritakan, setelah kemenangan Ali dari Olimpiade 1960, banyak wartawan mengekorinya sampai ke Louisville.

Sepanjang jalan pulang dari bandar udara, cemoohan mengintainya. Ucapan seperti "Olimpiade Negro" sampai ke telinganya. Hal paling parah adalah perilaku geng motor dan pemilik restoran kulit putih di pusat Kota Louisville ketika itu yang menolak kehadiran Ali.

Sebetulnya, Ali di usia 18 tahun ketika itu sudah kalis dengan rasialisme. Namun, kemarahan membuncah karena medali Olimpiade Roma yang dimilikinya, yang menjadi bukti bahwa kulit hitam mampu membawa nama Amerika Serikat sebagai negara dengan prestasi olahraga gemilang tetap tak membuat jera orang-orang kulit putih.

Sejak kecil, Ali memang sudah "cerewet" terhadap semua hal, terutama soal masa depannya. Ibu yang melahirkannya, Odessa Grady Clay, mengatakan, sejak bayi putranya itu sudah tampak tak pernah berhenti mengomel dan keras. Itu mengapa pada masa mudanya Ali terdokumentasikan sebagai seorang dengan hyperverbal.

"Aku sendiri tidak pernah melihat orang yang berbicara begitu sangat cepat seperti dia," ujar Odessa, seperti dikutip dari New Yorker, Sabtu (4/6). Namun "gelar" banyak omong Ali sebenarnya untuk meyakinkan bahwa Ali tak pernah tunduk terhadap sikap rasial dari kelompok kulit putih.

Saat tangannya belum mampu menghajar sikap rasial orang-orang kulit putih, niatnya agar bisa melawan sudah tertanam sejak usia 12. Di umur tersebut, Ali ingin benar-benar menghabisi orang kulit putih yang mencuri sepeda seharga 60 dolar miliknya. Namun, Ali yang kurus kerempeng ketika itu merasa tak bernyali dan memilih melaporkan peristiwa pencurian itu ke polisi.

Seorang polisi di Louisville, Joe Martin (yang pertama kali menemukan dia memendam amarah atas perilaku yang tak adil), mengatakan, "Jika kau ingin berurusan dengan pencuri, yang harus kau lakukan pertama kali adalah belajar bagaimana caranya melawan."

Ungkapan tersebut, menurut the New Yorker, menjadi pemicu keputusan Ali memilih tinju untuk bertahan hidup. Padahal, Ali pernah berkeinginan menjadi pemain sepak bola atau pebasket profesional. Namun, untuk mencapai keinginan itu, Ali harus masuk perguruan tinggi. Padahal di era 1950-an, sangat disangsikan orang kulit hitam di AS bisa bersekolah di universitas.

Martin yang melatih Ali bertinju untuk pertama kali. Dalam sebuah pengakuan yang dilansir the Guardian, Martin mengatakan, Ali tak punya kemampuan yang baik dalam bertinju. Namun, anak muda itu, dikatakan Martin, punya amarah meluap lantaran perilaku sosial terhadap diri dan kelompok kulit hitam keluarganya.

Satu-satunya penilaian baik untuk Ali ketika itu yaitu soal disiplin untuk bisa bangun dan lari pagi. Modal marah dan disiplin membuat Martin tak perlu lama mendidik Ali agar bisa tampil di atas ring.

Masih di usia 12 tahun, pada 1954 Ali memenangi karier tinju pertamanya lewat menang angka di kelas amatir. Ali menumbangkan lawan pertamanya itu hanya dengan waktu tiga menit. Lima tahun dalam tinju amatir, Ali berkembang dan menang di berbagai kejuaraan Golden Gloves Tournament of Champions pada 1959.

Pada 1960, dia terpilih masuk dalam kontingen AS untuk Olimpiade Roma. Martin menceritakan, butuh tiga jam untuk berdebat dengan Ali ketika dia menolak untuk pergi ke Italia. "Dia takut terbang," ujar Martin.

Namun, Martin menceritakan, Ali pun terpaksa pergi dengan membeli parasut bekas dan memakainya sepanjang penerbangan dari AS ke Roma. Pada 5 September 1960, dia mengalahkan petinju Polandia Zbigniew Pietrzykowski untuk menjadi juara Olimpiade 1960 di kelas berat ringan.

Akan tetapi, medali emas Olimpiade Roma tersebut menjadi titik balik baginya. Kemarahan Ali atas sikap orang-orang kulit putih di AS membuatnya menjadi "pembangkang", penentang semua aturan sosial yang seolah dipaksakan untuknya. Medali emas yang dibuangnya ke Sungai Ohio menandai sikapnya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement