Sabtu 04 Jun 2016 18:41 WIB
Mengenang Muhammad Ali

Muhammad Ali Pernah Menjejakkan Kaki di Indonesia

Rep: Purwadi/ Red: Citra Listya Rini
Muhammad Ali
Foto: EPA/MANFRED REHM
Muhammad Ali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Mantan juara dunia tinju kelas berat pada dasawarsa 1970 hingga 1980-an, Muhammad Ali, pernah menjejakkan kaki di Indonesia. Ia datang untuk meramaikan Pameran Dagang Negara-Negara Konferensi Islam (OKI) di Jakarta.

Tak semua masyarakat Indonesia punya kenangan tentang Ali, terutama mereka yang kini masih remaja. Namun, bagi mereka yang kini sudah berusia 30 tahun ke atas, ingatan tentang Ali tentu masih berbekas. Dari predikatnya sebagai "si Mulut Besar'' sampai tarian mautnya di atas ring ketika itu--melayang seperti kupu-kupu, menyengat bagaikan lebah.

Terakhir, Ali tampil di depan masyarakat internasional ketika mendapat kehormatan menyulutkan obor api pada Olimpiade Atlanta 1996. Sebelum itu, Ali seperti lenyap ditelan bumi. Ia memang menderita sindrom parkinson yang membuatnya agak lamban bergerak.

Meski sakit dan giat sebagai PR sebuah produk makanan sehat, Ali masih ingat Tuhan. Salah satunya, ia rajin melakukan syiar Islam dalam setiap kesempatan. Berikut adalah sekelumit tentang perjalanan hidup Ali, yang disarikan oleh Teguh Waskito.

Hari sudah petang. Puncak upacara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996 akan segera dimulai. Perenang putri AS Janet Evans berlari membawa obor yang akan diberikan kepada seseorang. Sampai detik terakhir itu ribuan orang yang memadati stadion itu masih bertanya-tanya, siapakah yang akan menyulutkan obor itu?

Ketika obor estafet itu akan diberikan kepada seseorang, lampu sorot kemudian menyinarinya. Ribuan orang di stadion dan juga jutaan pemirsa yang menonton di tabung kaca terpana. Orang itu adalah Muhammad Ali. Mantan jawara petinju kelas berat itu mendapat kehormatan untuk menyulut obor Olimpiade yang ke-100.

Haru dan takjub melanda perasaan para penonton. Dengan berjalan perlahan, Ali yang kini 54 tahun, menyambut obor dari perenang Janet Evans. Tangannya gemetar tak terkontrol dan paras mukanya nyaris tanpa ekspresi, akibat penyakit sindrom parkinson yang lama dideritanya.

Napas 85 ribu hadirin di stadion seperti terhenti, melihat Ali melangkah agak goyah menapaki tangga ke puncak menara tempat obor raksasa yang akan menyala selama pesta Olimpiade Atlanta 1996 berlangsung.

Ali mencoba tersenyum ketika berhasil mencapai puncak tangga. Dan hanya senyum itulah yang menandai ia masih punya semangat dan keberanian hidup. Itu mengingatkan banyak orang ketika ia masih berada di masa keemasannya. Yakni ketika ia masih menjadi maestro seni bertinju yang mampu mengubah ring tinju bagai panggung teater, dan orang-orang kagum padanya.

Orang-orang tak akan melupakan gerakan Ali yang ''melayang bak kupu-kupu dan menyengat bagai kumbang''. Jika Ali bertinju, setiap penonton akan puas karena mereka dapat melihat keindahan Ali ketika menari di atas ring.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement