Jumat 31 Mar 2023 00:01 WIB

Tujuh Nasihat Imam al-Ghazali Terkait Mencari Nafkah yang Halal, Jauh dari Korupsi

Al-Ghazali menekankan mencari nafkah harus dilakukan dengan cara yang baik.

Ilustrasi orang berdoa agar dimudahkan Allah mencari nafkah yang halal.
Foto: AP Photo/Mukhtar Khan
Ilustrasi orang berdoa agar dimudahkan Allah mencari nafkah yang halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Belum lama ini KPK menetapkan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka korupsi. Kasus ini mencuat setelah putranya menjadi tersangka penganiayaan anak Mario Dandy. Kemudian Publik mengusut latar belakang keluarga Mario.

Dari situlah diketahui bahwa Mario adalah anak petinggi Ditjen Pajak. Sejak itu nama Rafael Alun sering tersebut berikut kebiasaan keluarganya menampilkan gaya hidup dan kekayaannya melalui media sosial.

Baca Juga

Dari kasus ini, banyak orang mengambil hikmah bahwa mencari nafkah harus dilakukan dengan cara yang baik dan wajib menghindari segala yang haram. Maksudnya adalah cara mencari nafkah harus dengan akhlak mulia sesuai yang diatur agama. Bukan dengan cara korupsi, dan segala kejahatan yang merugikan orang lain.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mempunyai panduan mencari nafkah yang halal. Ada tujuh panduan yang dia sampaikan dalam Ihya Ulumiddin.

Pertama, mantapkan niat mencari nafkah untuk kebaikan. Bekerjalah sehingga mendapatkan penghasilan. Dengan begitu kita terhindar dari mengemis dan tak bergantung kepada orang lain. maksud dari bekerja di sini adalah supaya kita tidak menyusahkan orang lain.

Niat yang mantap ini juga dimaksudkan untuk syukur. Hidup sederhana dan selalu menguatkan ibadah. Juga selalu berprasangka baik kepada Allah, meskipun kita berada dalam keterbatasan.

Kedua, bekerja atau mencari nafkah merupakan fardhu kifayah dalam institusi keluarga. Kalau sama sekali taka da yang bekerja maka satu keluarga itu akan mengalami kesengsaraan. Di sini mencari nafkah mengandung fungsi muamalat, agar si pekerja berkolaborasi dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Ketiga, meski sibuk bekerja, jangan sampai melupakan akhirat. Misalkan, di tengah kesibukan bekerja, masih menyempatkan diri shalat jamaah di masjid. Akan lebih baik bila masih sempat melaksanakan amalan Sunnah.

Al-Ghazali mengutip Surah an-Nur ayat 37 berikut ini:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Keempat, membiasakan diri berdzikir dalam berbagai keadaan. Dzikir kepada Allah dalam keadaan bahagia maupun susah, pada pagi, siang, dan malam hari. Semua itu dilakukan agar diri ini selalu dekat dengan Allah. Dengan merasakan dekat itu, seseorang akan selalu diperhatikan Allah.

Ketika dekat dengan Allah, pekerjaan yang baik akan terasa mudah, bahkan selalu dilancarkan oleh Allah. Hasil dari pekerjaan itu bukan untuk ditimbun atau memperkaya diri sendiri, tapi untuk berbagai kebaikan. 

Kelima, jangan berlebihan. Apa yang didapat dari hasil kerja dirasa cukup, maka berikanlah sisanya kepada kaum dhuafa.

Keenam, hindari syubhat. Maksudnya adalah sesuatu yang tak jelas halal atau haramnya. Missal, kita menemukan suatu barang mewah yang menarik di tengah jalan. Kita tidak mengetahui asal usul barang itu. Siapa pemiliknya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Maka itu adalah syubhat. Harus dihindari.

Ketujuh, jaga akhlak dalam bergaul dan berkolaborasi dengan teman atau mitra. Akhlak yang baik akan membuat siapa pun yang berada di dekat kita merasa nyaman. Pekerjaan yang dilakukan dengan senang akan membuahkan energy positif.

Pola kerja seperti ini akan membawa berkah dan kebahagiaan kepada pelakunya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement