Rabu 29 Mar 2023 12:51 WIB

Nadiem: Kurikulum Merdeka Hilangkan Asumsi Anak Bisa Calistung Saat Masuk SD

Merdeka Belajar menargetkan satuan pendidikan membangun enam fondasi kemampuan anak

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Seorang guru mengajar siswa saat hari pertama sekolah di SDN Tebet Timur 17, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pada hari pertama masuk sekolah semester genap tahun ajaran 2022-2023, SDN Tebet Timur17 sudah mulai mengadakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa pasca libur Natal dan Tahun Baru 2023. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Seorang guru mengajar siswa saat hari pertama sekolah di SDN Tebet Timur 17, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pada hari pertama masuk sekolah semester genap tahun ajaran 2022-2023, SDN Tebet Timur17 sudah mulai mengadakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa pasca libur Natal dan Tahun Baru 2023. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain menghapuskan tes baca, tulis, hitung (calistung) untuk masuk ke SD, Merdeka Belajar Episode ke-24 juga menargetkan satuan pendidikan di PAUD dan SD/MI/sederajat untuk perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, menyampaikan, pihaknya sudah melakukan penyesuaian lewat Kurikulum Merdeka untuk menunjang hal tersebut.

"Di dalam Kurikulum Merdeka sudah tidak ada lagi asumsi bahwa anak itu bisa calistung pada saat dia masuk SD," ujar Nadiem dalam pemaparannya terkait Merdeka Belajar Episode ke-24 yang disiarkan secara daring, dikutip Rabu (29/3/2023).

Baca Juga

Dia memastikan hal tersebut setelah banyak guru, kepala sekolah, pegiat pendidikan, dan organisasi-organisasi PAUD yang kerap protes kepadanya. Di mana, kata Nadiem, mereka menyampaikan kepadanya perubahan yang dilakukan Kemendikbudristek tak akan berpengaruh apabila kurikulum SD tidak diadaptasi untuk memastikan tidak ada keharusan bagi anak untuk sudah menguasai calistung.

"Di dalam Kurikulum Merdeka, capaian pembelajaran untuk SD kelas awal ini sudah disusun. Kemarin banyak sekali berbagai macam guru, kepala sekolah, pegiat pendidikan, dan organisasi-organisasi PAUD yang selalu komplain sama saya," kata dia.

Nadiem memberikan contoh perubahan capaian pembelajaran yang ada pada Kurikulum Merdeka dengan dibandingkan dengan kurikulum lama. Untuk bahasa Indonesia misalnya, di kurikulum lama disebutkan capaian pembelajarannya adalah mengenal teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindera. Hal itu, menurut Nadiem, kaku dan sangat detil.

Di Kurikulum Merdeka, kata dia, capaian pembelajaran untuk bahasa Indonesia adalah peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, kepada teman sebaya dan orang dewasa di sekitar dirinya. Dia menjelaskan, perubahan capaian pembelajaran serupa itu dilakukan untuk memenuhi enam fondasi yang perlu dimiliki oleh anak.

Contoh lain yang dia berikan terkait dengan pelajaran matematika. Di kurikulum lama capaian pembelajaran sangat spesifik, seperti anak harus bisa mengurai sebuah bilangan asli sampai dengan 99 dan lain sebagainya. Menurut Nadiem, hal itu membuat anak lebih didorong untuk menghapal, bukan memahami intuisi bilangan.

"Kalau dihapal semua juga bisa dengan sangat mudah. Tapi sekarang kita ubah itu menjadi, pada akhir fase A, peserta didik dapat menunjukkan pemahaman dan memiliki intuisi bilangan. Number sense. Sense of number. Hal-hal yang memang lebih rumit untuk dimengerti oleh guru-guru PAUD dan SD. Tapi bukan alasan untuk tidak bisa menguasainya," kata Nadiem.

Buku teks perbanyak visual

Pengubahan juga dilakukan terhadap buku-buku teks siswa kelas satu dan dua SD. Menurut Nadiem, Kemendikbudristek sudah mengurasi buku-buku yang diperlukan untuk belajar sehingga dipastikan tidak ada asumsi dalam buku-buku tersebut bahwa anak sudah bisa calistung. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menyertakan berbagai macam gambar visual dalam buku pelajaran Kurikulum Merdeka.

"Sehingga kalaupun anak itu belum bisa membaca, dia masih bisa mengerti alur cerita daripada materi yang ada dalam buku teks tersebut. Dan konsep-konsep matematika juga visual agar yang dimengerti itu bukan hapalan, tapi konsep daripada numerasi," jelas dia.

Sebelumnya, Nadiem mengungkapkan apa saja enam kemampuan fondasi anak yang dia maksud. Pertama, mengenal nilai agama dan budi pekerti. Lalu keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi. Kemudian kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar.

Berikutnya, kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi. Kelima, pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri. Terakhir, pemaknaan terhadap belajar yang positif.

“Kemampuan fondasi tersebut dibangun secara kontinu dari PAUD hingga kelas dua pada jenjang pendidikan dasar. Untuk itu, standar kompetensi lulusan bagi PAUD tidak dirancang per usia, namun sebagai capaian yang perlu dicapai di akhir fase dan dapat dipenuhi hingga kelas dua pendidikan dasar, serta tidak ada evaluasi kelulusan untuk siswa PAUD,” ujar Nadiem.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement