Senin 20 Mar 2023 09:34 WIB

Apakah Pegawai Negeri tidak Boleh Kaya?

Sebagai abdi negara, pegawai negeri memosisikan diri sebagai pelayanan rakyat.

Boleh saja PNS kaya asal bukan dari korupsi. Foto ilustrasi  Perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial (medsos) cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.
Foto: www.freepik.com
Boleh saja PNS kaya asal bukan dari korupsi. Foto ilustrasi Perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial (medsos) cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah kasus yang menerpa pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo, satu per satu kehidupan mewah pejabat negara diungkap ke publik. Sebut saja kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono yang harus mengklarifikasi harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Salah satu yang ia klarifikasi, yakni menyangkut rumah mewah di Cibubur serta aset berharga lain.

Belum kelar urusan Andhi Pramono, kini giliran Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Pol Endar Priantoro yang ramai dibicarakan. Ia disorot setelah video berisi cuplikan dugaan gaya hidup mewah sang istri diunggah ke publik. Endar pun diminta klarifikasi oleh KPK.

Entah setelah Endar siapa lagi pejabat yang bakal dikuliti di media sosial. Namun yang pasti, pengungkapan harta dan gaya hidup pejabat ataupun keluarga ini menjadi warning buat aparatur negara lain agar tidak menampilkan gaya hidup mewah di publik.

Memang muncul pertanyaan apakah seorang pegawai negara tidak boleh kaya? Apakah salah pegawai punya harta berlebih?

Jawaban tentu saja sah-sah saja bila pegawai negeri kaya. Karena bukan tidak mungkin kekayaannya itu adalah warisan dari orang tua. Apakah itu dalam bentuk aset berharga atau unit usaha.

Bisa juga karena diperoleh dari pasangannya.  Misal bila seorang pegawai mempunyai pasangan pengusaha atau pejabat di perusahaan asing. Tentu asetnya bisa lebih tak terbatas dibandingkan menikahi sesama aparatur negara.

Namun, yang kemudian menjadi masalah adalah ketika seorang pejabat aparatur negara atau istri dan anaknya memamerkan harta ataupun aktivitas kehidupan mewah, yang seakan tak wajar dimiliki oleh seorang abdi negara. Dari mulai kendaraan mewah, tas bermerk, motor gede, liburan ke luar negeri dengan fasilitas bonafid, hingga hal-hal lain yang memicu kecurigaan. Apalagi jika kekayaan itu tidak sesuai dengan profil yang dimiliki.

Publik pantas bertanya-tanya dari mana duit sebesar itu?

Sebagai seorang abdi negara, pegawai negeri memosisikan diri sebagai pelayanan masyarakat. Ini bukan tanpa alasan, karena gaji mereka berasal dari pajak masyarakat. Termasuk, tunjangan besar yang diterima oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak, juga dari kontribusi pengumpulan pajak publik.

Karena itu, akan sangat tidak etis apabila seorang pegawai bergaya hidup mewah, sementara masih banyak masyarakat yang tergolong kurang mampu. Kisah kesederhanaan mantan kapolri Hoegeng bisa menjadi contoh baik. Pun halnya mantan hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkotsar yang tidak memiliki kendaraan bermotor hingga ia berpulang. Integritas keduanya sudah tak diragukan lagi.

Memang, salah satu tantangan seorang abdi negara bukan sekadar menahan diri melakukan flexing atau pamer hidup mewah. Lebih dalam dari itu adalah mempunyai integritas dalam bekerja. Integritas inilah yang ditanamkan sejak pertama kali menjadi seorang pegawai negara.

Seorang pegawai yang memiliki integritas dia akan bersikap jujur dalam bekerja. Ia memegang erat nilai yang dianut. Mereka yang berintegritas akan memberikan teladan dan memberikan pelayanan terbaik serta siap mengakui kesalahannya.

Tentu hal ini bukan perkara mudah. Karena pada praktiknya, integritas tersebut lebih mudah ditulis, diucapkan daripada dijalankan. Sebut saja kasus yang mengaitkan sejumlah pegawai pajak. Padahal, nilai integritas ini ditanamkan betul-betul di dalam tubuh Kementerian Keuangan. Bahkan, ditambah dengan tunjangan yang cukup fantastis dari mulai lima juta (paling rendah) hingga di atas Rp 100 juta untuk Dirjen Pajak.

Namun faktanya, tetap saja muncul kasus-kasus yang melibatkan pegawai, baik itu gratifikasi maupun korupsi.  Dari mulai kasus Gayus Tambunan hingga Angin Prayitno dan kini Rafael Alun yang sudah dalam penelisikan KPK.

Pun halnya di tubuh kepolisian. Sebagai seoang penegak hukum di masyarakat, polisi sejatinya bersikap jujur, menjadi tauladan, dan bersikap hidup sederhana. Bukan sebaliknya, merekayasa kasus atau bahkan bekerja sama dengan pelaku kejahatan.

Oleh karena itu, prinsip bahwa pegawai negara ada seorang seorang abdi harus dipegang kuat-kuat. Abdi adalah seorang pelayan. Apakah pantas seorang pelayan pamer harta kekayaan? Dan lebih dari itu sebagai seorang abdi, pegawai haruslah memiliki sebuah integritas. Apalah artinya seorang pegawai tanpa memegang prinsip tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement