Rabu 22 Feb 2023 13:28 WIB

Menkeu Ingatkan Kemungkinan Resesi Tahun Ini Masih Ada

Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan lebih lambat dari 2022.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Pekerja beraktivitas di dekat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan lebih lambat dari 2022.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pekerja beraktivitas di dekat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/11/2022). Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan lebih lambat dari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, situasi perekonomian global masih mengalami tantangan sangat berat tahun ini. Hal itu terlihat dari kondisi ekonomi sejumlah negara, terutama berbagai negara maju.

Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan lebih lambat dari 2022. "Apalagi (dibandingkan) 2021 yang saat itu merupakan tahun pemulihan ekonomi sesudah pandemi. Maka tren melemahnya ekonomi di negara maju ini masih berlanjut," ujarnya dalam konferensi pers APBN KITA secara virtual, Rabu (22/2/2023).

Baca Juga

Kemungkinan terjadinya resesi, lanjutnya, juga masih ada. Dirinya menyebutkan, melambatnya perekonomian global terutama disumbangkan oleh ekonomi Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok atau Cina.

Meski Cina diperkirakan maju, kata dia, tapi masih di bawah target yang diharapkan oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut. "Jadi pengaruh yang sangat menentukan bagi perekonomian Indonesia juga," tuturnya.

Sri Mulyani melanjutkan, Global Commodity Index naik 15 persen yoy pada 2022. Kenaikan titik tertinggi terjadi pada Mei tahun lalu yakni sebesar 33 persen.

Beberapa negara maju pun masih mengalami inflasi tinggi. Bahkan tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Dollar Index turut menguat 8,2 persen yoy. "Itu karena kondisi AS yang meski inflasi tinggi, tapi masih positif sehingga dari sisi kebijakan moneter di AS yang diperkirakan masih akan bertahan dengan suku bunga tinggi cukup lama, sehingga sebabkan dolar AS alami penguatan," jelas Sri Mulyani.

Dari sisi saham atau MSCI World Stock Index, sambungnya, untuk negara berkembang mengalami penurunan 20 persen pada tahun lalu. Global PMI Manufacture pun alami pelemahan terendah dalam 2,5 tahun terakhir.

Melihat berbagai fakta itu, lanjut dia, suasana dunia masih dalam kondisi tertekan perekonomiannya. Hal tersebut utamanya dimotori oleh negara-negara Eropa yang terkena imbas lansung dari Perang Ukraina.

"AS yang juga terlibat perang di Ukraina, namun juga pada saat sama inflasi di dalam negerinya tinggi. Sementara Tiongkok sebagai negara dengan perekonomian terbesar mengalami pemulihan sesudah adanya pembukaan dari kebijakan lockdown-nya," ujar Sri Mulyani.

Dirinya menambahkan, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara pada 2022 lebih rendah dibandingkan 2021. Maka Indonesia yang mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen relatif baik atau sangat baik dibandingkan negara-negara Asean dan G20.

"Ini sebuah prestasi dan menjadi landasan kita bisa optimis. Itu karena pemerintah dari sisi perekonomian menunjukkan adanya resiliensi dan momentum pemulihan ekonomi sangat kuat," tegasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement