Senin 13 Feb 2023 11:35 WIB

Guru Besar Unkris Gayus Lumbuun Usulkan Pembentukan Lembaga Khusus Justice Collaborator

Menjadi justice collaborator, seperti Bharada E, tak menjamin lolos dari hukuman.

Mantan Hakim Agung yang kini menjadi Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun.
Foto: Republika/Wihdan
Mantan Hakim Agung yang kini menjadi Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan hakim agung Prof Gayus Lumbuun mengusulkan Indonesia perlu membentuk lembaga khusus Justice Collaborator (JC) untuk memudahkan penegak hukum membongkar kasus kejahatan. Lembaga ini nantinya memiliki wewenang menilai seseorang layak atau tidak menjadi JC, baik untuk kasus tindak pidana korupsi (tipikor) maupun pidana umum.

JC merupakan sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Urgensi pembentukan lembaga khusus JC tersebut, kata Prof Gayus, karena di Indonesia saat ini wewenang penetapan JC berada pada tiga lembaga, yakni penyidik, jaksa, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Ini menimbulkan kerancuan dan kebingungan tersendiri,” kata Prof Gayus dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/2/2023).

Kerancuan tersebut misalnya ketika LPSK menetapkan JC. Dalam kasus seperti ini sering kali JC didudukkan sebagai saksi. Padahal JC bukanlah saksi, melainkan seorang tersangka yang kemudian menjadi terdakwa, yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam pengungkapan suatu kasus dengan terdakwa lainnya.

Selain itu, lanjut Prof Gayus, tidak ada transplantasi hukum yang melekatkan JC dalam UU LPSK. Karena LPSK itu tugasnya hanya memberi perlindungan hukum kepada saksi dan korban. Faktanya, tidak sedikit JC yang dibatalkan oleh hakim karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan atau pengungkapan substansi perkara.

Prof Gayus mencontohkan kasus persidangan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, yang menyeret Ferdi Sambo dan kawan-kawan. Pada kasus tersebut oleh LPSK, Brigadir Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E ditetapkan sebagai JC, dengan tujuan agar pengungkapan kasus ini bisa lebih terang benderang.

Akan tetapi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana dalam pernyataannya menilai, Eliezer tidak tepat sebagai JC karena Eliezer juga termasuk eksekutor Brigadir J. Dalam hal ini sebagai pelaksana perintah dari Ferdy Sambo selaku pemberi perintah. Tak heran, Jampidum menolak merevisi tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) kepada Bharada E, yakni 12 tahun penjara. Pun ketika Putri Candrawati diajukan sebagai JC ternyata ditolak oleh LPSK.

Prof Gayus menambahkan, jika pada kasus tipikor, JC berperan untuk mengembalikan kerugian negara secara maksimal, keberadaan di JC di perkara pidana umum juga harus memiliki kemanfaatan. "Itu artinya, seorang JC haruslah mempertanggungjawabkan dulu perbuatannya. Jadi, seorang JC tidak lantas bisa lepas dari apa yang diperbuatnya,” katanya menegaskan.

Namun, pada perkara Bharada E menjadi JC, apa yang bisa dikembalikan oleh Bharada E, terkait perbuatannya (delictum) sebagai pelaku penembakan pertama Brigadir J? “Karenanya, perbuatan Bharada E itu harus dihitung dulu dalam bentuk vonis hukuman, baru bisa menjadi JC bagi terdakwa lainnya,” kata Prof Gayus.

Lebih jauh Prof Gayus mengatakan dalam perkara ini, Bharada E, menurut Jampidum, merupakan pelaku penembakan pertama sebanyak empat kali. Karena itu, hakimlah yang akan menilai berdasarkan legal justice (keadilan hukum) sebagai dasar pertimbangan tertinggi.

Prof Gayus yang juga guru besar di Universitas Krisnadwipayana (Unkris) itu mengingatkan masyarakat harus memahami bahwa keberadaan Bharada E sebagai JC, tidak lantas membuat publik memiliki ekspektasi besar bahwa dirinya akan dihukum seringan-ringannya, bahkan dibebaskan dari hukuman. Sebab, tidak bisa dinafikan bahwa dalam perkara tersebut Bharada E juga menjadi pelaku penembakan pertama.

“Menjadi seorang JC tidak lantas taken for granted (seutuhnya) bahwa seseorang (apalagi pelaku) bisa lolos dari hukuman. Ini harus dipahami oleh masyarakat. Mungkin saja hukumannya berkurang, tapi tidak hilang sama sekali,” kata Prof Gayus.

Prof Gayus menjelaskan, sejatinya keberadaan JC merupakan transplantasi hukum dari Amerika Serikat. JC pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an, yang pada umumnya digunakan untuk perkara-perkara tindak pidana korupsi (tipikor) atau money laundering. Ini dimaksudkan agar pengembalian kerugian negara yang dikorupsi dapat dilakukan secara maksimal.

Di Indonesia istilah JC muncul pertama kali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Dalam SEMA tersebut dikatakan, yang dimaksud tindak pidana tertentu adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, ataupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. SEMA tersebut dikeluarkan karena ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU No 13 Tahun 2006, yang mengatur perlindungan saksi dan korban.

Terkait pembentukan lembaga khusus Justice Collaborator, Prof Gayus menambahkan, perlu dibuat undang-undang khusus sehingga dengan dasar hukum tersebut, keberadaan JC bisa lebih jelas. “Dengan UU terkait lembaga khusus Justice Collaborator tersebut, maka JC bisa dipakai untuk semua jenis perkara, baik pidana, perdata, maupun Tipikor.”  

Prof Gayus berharap, pemerintah dan DPR RI secara serius memberikan perhatian terhadap pembentukan lembaga khusus Justice Collaborator ini, mengingat persoalan hukum yang terjadi belakangan semakin kompleks.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement