Jumat 08 Jun 2012 11:22 WIB

Sesuap Nasi

Korban Kelaparan
Foto: dw world
Korban Kelaparan

REPUBLIKA.CO.ID,  Cerpen Ita Ayankta*

Aku mempercepat langkahku sambil sesekali membasuh peluh yang hampir menetes. Lebih cepat lagi. Setengah berlari. Ada yang harus kusampaikan dengan segera kepada sahabat terbaikku, tempat mengadu, mengeluh dan yang paling utama tempatku meminjam uang. Sebentar lagi aku akan sampai di toko sembako Haji Mamat, tempat Ucup bekerja sebagai pelayan. Beberapa langkah lagi.

Ramai dan antre oleh para pembeli. Aku harus menunggu para pembeli itu membubarkan diri satu persatu. Hanya satu yang belum beranjak pergi. Seorang pria berkaos lusuh dengan tas ransel di punggungnya yang berdiri di dekat karung beras, tapi aku tak peduli. Kabar ini harus segera kusampaikan. Aku tidak mampu menuggunya lagi.

“Ucup! Ucup!” teriakku membuat Ucup menatap tajam wajah gembiraku dan menghentikan aktifitasnya.

“Gue udah dapet kerja. Lu nggak perlu takut! Gue nggak ngutang lagi,” kataku dengan bangga.

“Kerja apaan?”

“Cleaning service di restoran tempat orang-orang kaya pada makan.”

“O… kirain…”

“Lu kan, tau sendiri. ” Ucup tak mau menggubrisku lagi. Ia langsung melayani pria yang berdiri di dekat karung beras itu. Padahal pria tersebut hanya membeli segelas aqua.

                                                                              ***

Pakaianku lebih rapi dari biasanya, mampir sebentar di warung kopi untuk mengganjal perut, kemudian berangkat. Aku akan memulai pekerjaan baruku. Pekerjaan yang kunantikan, setelah sekian lama mondar-mandir mencarinya. Tidak akan lagi menjadi tukang parkir, calonya para sopir angkutan yang mengetem di perempatan lampu merah dan kerja serabutan lainnya.

Tidak lama lagi aku akan menunaikan cita-citaku untuk pindah dari kontrakan ini. Tidak akan ada lagi antre untuk mandi atau sekadar membersihkan wajahku ketika bangun dari tidur. Aku sudah bosan dengan air hujan yang selalu merembes pada dinding triplek di musim hujan seperti ini.

Belum lagi ukurannya yang hanya sepetak mampu melelehkan tubuhku jika tiba musim panas. Hhh... sebuah kontrakan yang hanya layak untuk para pengangguran dan pekerja serabutan.

 

“Mau berangkat kerja ya?” Mendadak suara itu mengagetkanku yang baru saja memajang tubuhku di depan pintu. Aku tidak langsung menjawabnya, sedikit memperhatikan pakaian dan wajahnya yang pernah kulihat.

“O, ya. Pria yang kemarin kulihat di toko Haji Mamat,” batinku.

Bukankah di pagi seperti ini biasanya orang-orang memang sibuk untuk bekerja? Hanya orang-orang yang menganggur dan kerja serabutan saja yang masih santai pada jam segini. Tentu saja aku tahu, aku baru saja melepas jabatan itu kemarin. Ternyata dia tetangga baru di sebelah kamarku. Namanya Karya.

“Gue Mis, Misbah. Mau ngopi dulu, yuk!”

“Makasih, saya lagi puasa,” jawabnya.

“O...” aku membulatkan mulutku dengan segera.

                                                                           ***

Merapikan dan membersihkan meja makan, lantai dan dapur adalah tugas yang tidak rumit. Meskipun aku lelaki, tetapi dulu emak sering memperkenalkan pekerjaan ini kepadaku. Tidak, masih ada yang terasa berat, sulit bagiku untuk melakukannya. Tidak sampai hati. Aku tidak hanya sekadar menyaksikan, tetapi menjadi pelakunya.

Menumpahkan sisa-sisa nasi dan makanan yang berserak di piring-piring ke dalam plastik, kemudian menggiringnya ke tempat pembuangan. Bagaimana tidak? Sepanjang hidup emak, dia selalu bersusah payah. Aku masih ingat ketika emak mengais sisa-sisa beras yang tumpah di toko beras dekat pasar. Setelah itu, emak akan berjalan menuju tukang sayuran untuk melakukan hal yang sama. Kemudian mengolah semuanya untuk menjadi santapanku.

Meskipun manajer di restoran ini mempersilahkan para karyawannya untuk makan secukupnya, aku sempat memintanya untuk kubawa pulang dan kubagikan para tetangga di kontrakan. Pasti mereka akan senang, karena tidak hanya dapat menyembuhkan rasa lapar, tetapi juga dapat memberinya kesempatan untuk mencicipi makanan enak dan steril.

Tunggu dulu! Tidak semudah itu, buktinya ada perkataan yang memaksaku untuk melupakan niat yang telah kuanggap sangat mulia ini.

“Kami tidak mau mengambil risiko bila terjadi sesuatu akibat makanan tersebut. Kebersihan makanan tidak lagi terjamin jika sudah di luar sana,” katanya.

                                                                          

                                                                            ***

Aku berjalan gontai membawa lelah dan pengalaman kerjaku yang mengenaskan. Sesaat ada yang memaksa perhatianku kepadanya. Seorang lelaki yang sudah renta, kepala dan dagunya pun tak luput dari warna putih. Jalannya yang lambat membuatku mampu mengamati dirinya yang terbalut pakaian lusuh. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat undukan sampah yang teronggok di sarangnya. Kemudian, tangannya  mulai bermain di dalamnya untuk melacak keberadaan sisa makanan. Mendadak matanya berbinar menemukan bungkusan nasi yang sudah rusak, tapi itu sesaat. Segera disusul oleh kecewa, karena nasi yang ditemukannya sudah basi.

“Ahh… andai saja aku berhak mengajaknya ke restroran tempatku bekerja dan menyuruhnya menghabiskan sisa-sisa makanan di sana, ” sesalku pelan.

Aku tidak sanggup menyaksikannya lebih jauh lagi. Hatiku terasa sakit, tidak mampu berbuat sesuatu untuk menghilangkan laparnya. Kejantananku hampir hilang oleh butir bening yang menggantung di sudut mataku.

                                                                            ***

“Maaf! Saya puasa,” tolak Karya untuk kesekian kali ketika kuajak ke warung kopi.

Perlahan ada rasa kagum untuknya. Bagaimana tidak? Dari kecil aku sering merasa susah untuk mendapatkan sesuap nasi, tapi kalau harus mensiasatinya dengan puasa, aku akan berpikir bolak-balik. Ya, hanya orang seperti kami inilah yang mampu menghargai sesuap nasi demi perut. Tidak seperti mereka yang keluar dan masuk restoran itu.

Dulu aku pernah menyisakan makanan seperti mereka itu, kemudian emak berkata, “Kita tidak akan pernah bisa menghitung berapa banyak orang yang lebih buruk dari kita untuk mendapatkan sesuap nasi. Jika tak mampu membantu mereka, setidaknya kita tidak membuang makanan dengan sia-sia. Sebutir nasi yang kita sisakan, bisa jadi merupakan sebutir nasi yang membuat orang mati karena tak bisa mendapatkannya.”

Mudah-mudahan mereka segera sadar akan hal itu. Meskipun aku sudah sering membuang makanan sisa mereka, tetapi aku tetap saja tidak mampu berdamai dengan hatiku sendiri. Sungguh aku merasa lelah untuk membuat batinku selalu berdebat hebat.

                                                                          

                                                                           ***

Kali ini aku nekat keluar dari job list untuk memperhatikan pengunjung restoran. Bukan hanya satu atau dua orang yang bersikap mubazir, tetapi cukup banyak. Bahkan terlalu banyak. Hampir seluruh pengunjung di restoran ini.

Aku mendapati orang tersebut. Entah tidak napsu makan atau selera makannya hilang secara tiba-tiba? Yang pasti sejak pertama aku bekerja, orang tersebut selalu memesan makanan yang lebih dari porsinya dan menyisakannya di piring. Aku sengaja menghampirinya ketika ia bersiap-siap untuk meninggalkan meja makannya.

“Maaf, Pak! Mau dibungkus makanannya?” tawarku.

“Tidak perlu,” jawabnya tanpa mempedulikanku.

“Tapi Bapak belum menghabiskan makanannya,” kataku sambil mencegah langkahnya.

“Tetap saya bayar kok,” jawabnya lagi sambil ngeluyur pergi ke kasir.

Aku tidak kesal dengan sikapnya yang tak acuh kepadaku, tetapi aku kesal jika dia tak acuh dengan sisa makanannya. Bayangkan di luar sana berapa banyak orang yang dibuat kecewa oleh sikapnya yang seperti ini! Bahkan, beberapa di antara mereka terpaksa membeli nasi aking untuk menahan laparnya. Bayangkankan pula biaya pembuangan sisa makanan yang harus dikeluarkan oleh produsen serta dampaknya terhadap lingkungan!

                                                                          

                                                                           ***

“Meskipun sering puasa, tetap aja saya nggak bisa berbuka dengan makanan yang enak,” jawab Karya saat kuselidiki kebiasaannya.

Kata-katanya membuat kesabaranku habis. Aku tidak mau melanjutkan pekerjaanku di restoran itu, tapi bagaimana dengan pesan si Ucup, “Jangan berpikir kalo pekerjaan lu adalah hina! Ingat kebersihan itu sebagian dari iman!”

“Maafin gue, Cup!” lirihku pelan.

Aku tidak mau bekerja di lingkungan setan. Bukankah pelaku mubazir itu adalah saudaranya setan? Aku akan mencari pekerjaan lain. Pokoknya pekerjaan yang tidak menyinggung para kaumku atau mereka yang senasib denganku. Jika perlu aku akan kembali ke perempatan lampu merah itu. Ya, aku mantap dengan keputusanku. Aku sudah tahu solusi yang baik jika aku kembali kerja serabutan. Aku akan berpuasa seperti yang dilakukan Karya. Aku tak perlu takut mati karena kelaparan.

                                                                           ***

“Mis!” Suaranya tak asing, aku pun menoleh. Ternyata benar, itu adalah suara Ucup.

Sejak sibuk menjadi Cleaning service hampir tak pernah ada pertemuan di antara kami, tapi Ucup tidak pernah berubah. Dia selalu ada di saat aku susah, bahkan di sela-sela perjalananku saat ini.

“Kok udah pulang jam segini, Mis?” tanya Ucup

“Iya. Gue ngundurin diri”

“Apa? Yang benar aja?”

“Gue nggak sanggup lagi kerja di restoran itu. Gue udah pernah cerita kan, kejadian-kejadian di sana?”

“Iya. Tapi kita ini orang kecil, Mis. Apalagi cuma lulusan SD, kerja jadi pelayan toko aja udah bersyukur.”

“Ahh... udahlah, Cup! Lu nggak perlu takut! Gue nggak akan ngutang di toko Haji Mamat lagi, gue mau puasa kayak si Karya.”

“Bukan itu, Mis. Lu itu baru ngeliat sebagian kecil orang-orang yang berjuang mencari sesuap nasi dengan cara halal. Lu sendiri mau jadi apa? Lu pikir semakin banyak kejahatan di negara kita ini gara-gara apa? ” Ucup nyerocos dengan nada kesalnya.

Aku terdiam beberapa saat untuk menyelami kata-kata Ucup, tapi itu tak membuatku menyesal dengan keputusanku. Toh dari dulu si Ucup memang hobi menasehatiku. Dan aku akan tetap mengikuti langkah si Karya. Bukankah tidak ada seorang pun di dunia ini yang meninggal karena puasa?

“Gue nggak takut kalo lu ngutang lagi di toko Haji Mamat. Karena gue udah nggak kerja di situ lagi, ” tambahnya, masih tetap dengan nada kesalnya.

    

“Kenapa? Bukannya gue udah nggak ngutang lagi? Lu nggak diomelin lagi gara-gara gue kan, ...?” tanyaku cemas.

“Emang bukan itu, tapi lain lagi masalahnya. Hampir setiap hari selalu ada beberapa sembako yang hilang. Meskipun sedikit-sedikit, lama-lama Haji Mamat kesal. Ya udah, karena gue pelayan di situ, kemarin gue dipecat.”

                                                                             ***

Tidak ada lagi kesibukan, termasuk pergi ke warung kopi di pagi tadi. Karena hari ini aku sudah memutuskan untuk berpuasa. Aku ingin menemui Karya di kamarnya. Aku belum melihat batang hidungnya dari pagi. Mungkin dia sedang tertidur lelap, dikejar kantuk akibat sahur.

“Kebetulan tidak terkunci,” gumamku pelan.

Aku tak kalah kagetnya dengan Karya yang kepergok sedang menyuap nasi ditemani semangkuk mi instant.

“Kok nggak berangkat kerja?” tanyanya gugup sambil menahan kunyah di mulutnya.

“Gue udah nggak kerja lagi”

“Ohh... ya udah duduk sini!” tawarnya sambil tertawa geli.

“Kenapa ketawa?”

“Ya, senang aja. Berarti ada temannya, nggak nganggur sendirian.”

“Tapi kan, lu...”

“Itu karena saya malu, abis waktu itu kamu udah kerja.”

“O...” ucapku masih penuh dengan tanda tanya. “Nggak biasanya hari ini nggak puasa?”

“Pelayan tokonya masih baru. Jadi ada kesempatan buat ngambil jatah makan siang.”

Sesaat bayang Ucup menyita benakku dan kata-katanya terngiang hebat di telingaku.

*Ita Ayankta adalah nama pena Nurbaiti Bahrudin. Mahasiswa Semester 6 Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement