Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Hal Terpenting Bukan Saweran, tapi Resakralisasi dan Respiritualisasi Bacaan Al Quran

Agama | Saturday, 07 Jan 2023, 13:56 WIB

“Mau kemana kamu?” tanya Nu’aim bin Abdulllah kepada Umar bin Khattab yang menghunus pedang.

“Aku sedang mencari Muhammad. Ia telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kepercayaan kaum Quraisy. Aku harus membunuhnya.”

“Anda menipu diri sendiri. Apakah Anda mengira Bani Abdul Manaf akan membiarkanmu setelah kamu berhasil membunuhnya. Sama sekali Tidak! Ia dan keturunannya akan melakukan balas dendam. Aku kira, kamu lebih baik mengurus adikmu yang telah menjadi pengikut Muhammad.” Kata Nu’aim selanjutnya.

Ia terperanjat mendengar perkataan Nu’aim, dan ia segera menuju rumah Fatimah binti Khattab, adik kandungnya. Ketika sampai di rumah sang adik, ia mendengar adik dan suaminya, Said bin Zaid bin Amr, sedang mendengarkan surat Thaha yang dibacakan Khabbab bin Al-Arat.

Tanpa basa-basi lagi, ia memarahi adik dan suaminya yang telah menjadi pengikut Muhammad. Tamparan sang kakak yang bertubuh kekar mendarat di wajah halus sang adik dan suaminya. Tak sampai disitu, ia merebut lembaran al-Qur’an yang dipegang adiknya.

Sang adik dan suaminya tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya memandang sang kakak yang sedang membaca dan menelaahnya. Ia terus mengulang-ngulang bacaannya beberapa kali. Akhirnya, ia berkata kepada sang adik, “Sungguh indah dan mulia kata-kata ini!”

Ia begitu terpukau dengan keindahan bahasa al-Qur’an dan kedalaman maknanya. Jiwanya bergetar, hatinya luluh. Tekad bulat untuk membunuh Nabi Muhammad saw terkalahkan oleh keindahan dan kedalaman makna-makna kalimat al-Qur’an. Singkat cerita, ia masuk Islam dan kelak menjadi salah seorang sahabat Rasulullah saw yang terkemuka.

Ada beberapa hal yang patut kita tarik dari kisah Umar tersebut, diantaranya al-Qur’an merupakan kitab mulia yang tak mungkin tertandingi keindahan bahasanya. Siapapun yang membacanya akan terpukau dengan kedalaman maknanya. Hal lainnya yang harus kiat garis bawahi dari peristiwa tersebut adalah nilai-nilai sakral dan nilai-nilai spiritual dari bacaannya.

Bagian dari nilai-nilai sakral adalah memuliakan al-Qur’an sebagai kitab suci. Kita tak patut memperlakukannya seperti halnya kita memperlakukan buku-buku biasa. Demikian pula halnya dengan membaca dan mendengarkannya dengan seksama merupakan bagian dari upaya memuliakan al-Qur’an.

Kita pun mesti meyakini, membaca, mendengarkan, serta memuliakan al-Qur’an merupakan bagian dari ibadah. Karenanya ketika kita tengah membaca al-Qur’an seharusnya kita dapat merasakan bahwa ayat-ayat yang tengah dibaca tersebut bukanlah kalimat-kalimat biasa, namun merupakan firman Allah. Sangatlah tidak layak jika kita tidak memiliki tatakrama ketika membaca dan mendengarkannya.

Beberapa hari yang lalu, khalayak dikejutkan dengan video perlakuan tidak pantas terhadap seorang qariah yang tengah melantunkan ayat suci al-Qur’an. Republika.co.id, Kamis 05 Jan 2023 12:58 WIB, memuat berita tersebut dengan judul, “Disawer Jamaah Laki-Laki Saat Mengaji, Ustadzah Nadia Hawasyi: Tidak Pantas!”

Lebih tidak pantas lagi, saweran tersebut seperti saweran dalam tayangan musik dangdut. Bedanya, sawerannya diselipkan seorang jamaah laki-laki di kening qariah yang sedang melantukan bacaan ayat suci al-Qur’an. Mengenai saweran ini, Republika Jabar (RepJabar), Kamis , 05 Jan 2023, 14:08 WIB menurunkan berita Viral Video Qoriah Sedang Baca Alquran Disawer di Tangerang, Uang Diselipkan di Kening.

Tak ada satu pihak pun yang memberikan pujian dan membenarkan terhadap perilaku tersebut. Sampai jam 17:20, Kamis , 05 Jan 2023, Republika masih memuat berita viral tersebut. “Qoriah Disawer Sedang Baca Alquran, Ketua MUI: Haram” (RepJabar, Kamis , 05 Jan 2023, 14:18 WIB), dan satu tulisan yang berjudul “Pendapat Pakar Alquran Soal Video Qoriah Disawer Uang Saat Sedang Mengaji” (republika.co.id, Kamis 05 Jan 2023 17:20 WIB).

Sudah saatnya umat Islam mengembalikan kewibawaan umat dan ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan memuliakan al-Qur’an. Kita harus membaca, mendengarkan, memahami kandungannya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.

Mari kita renungkan, al-Qur’an pada masa Nabi saw sama dengan al-Qur’an yang kita baca pada saat ini. Ayat-ayatnya tak ada perubahan, hanya bentuk ukurannya saja yang berbeda.

Pertanyaannya, mengapa bacaan al-Qur’an pada masa Nabi saw mampu menggetarkan hati orang yang mendengarkannya dan menjadikan Islam berwibawa; sementara pada saat ini malah sebaliknya? Al-Qur’an semakin memasyarakat baik cetakan, bacaan, maupun hafalannya, namun umat Islam seolah-olah tak berwibawa, tak disegani.

Jawaban untuk pertanyaan tersebut terletak pada perlakukan kita terhadap al-Qur’an. Jangankan terhadap pengamalan isi dan kandungannya, sekedar tatakrama ketika membaca dan mendengarkannya sudah banyak kita langkahi. Membaca dan mendengarkan lantunan ayat suci al-Qur’an dianggap sekedar mendengarkan lantunan “dendang” yang penuh keindahan irama dan suara pelantunnya.

Kita harus malu dengan sindiran Annemarie Schimmel, seorang orientalis asal Jerman, yang kini banyak menulis buku tentang perkembangan Islam. Dalam salah satu bukunya, ia mengatakan “ bahkan sebuah kitab keramat yang digunakan sebagai objek pemujaan tanpa mengingat kandungan ruhaniyahnya dapat berubah menjadi sebuah jimat.” (Rahasia Wajah Suci Ilahi, Mizan 1996, hal.72).

Kewajiban kita pada saat ini adalah mengembalikan ruh al-Qur’an dalam kehidupan (respiritualisasi) seraya mengembalikan penghormatan kita terhadap al-Qur’an sebagai kitab suci dan kalam suci (resakralisasi), dan meskipun berat, kita harus berjuang mengimplementasikan kandungannya dalam kehidupan nyata.

Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. pernah berkata, “Aku sangat kesulitan menghafal al-Qur’an, namun aku diberi kemudahan mengamalkan kandungannya. Kelak, orang-orang sesudahku akan mendapatkan kemudahan menghafal al-Qur’an, namun mereka akan mendapatkan kesulitan dalam mengamalkan kandungannya.” (Tafsir al Qurthuby, Jilid I : 40).

Ilustrasi : Sawer Qariah (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image