Kamis 08 Dec 2022 20:47 WIB

Peringatan untuk Pemerintah Sebelum Mengimpor Ratusan Ribu Ton Beras

Jangan sampai beras impor sampai ke Indonesia saat panen raya pada awal 2023.

Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) bersama Kementerian Pertanian (Kementan), dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan sinkronisasi data dan sepakat menggunakan satu data beras dari BPS. Langkah tersebut dalam rangka memastikan dan menjaga akurasi arah kebijakan beras nasional di akhir tahun ini dan di tahun 2023.
Foto: istimewa
Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) bersama Kementerian Pertanian (Kementan), dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan sinkronisasi data dan sepakat menggunakan satu data beras dari BPS. Langkah tersebut dalam rangka memastikan dan menjaga akurasi arah kebijakan beras nasional di akhir tahun ini dan di tahun 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution

Ombudsman RI mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Peringatan ini dikeluarkan menyusul rencana pemerintah mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Baca Juga

Menurut Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, keputusan impor beras ini belum memenuhi 12 indikator tersebut. Namun, hanya sebagian yakni antisipasi krisis pangan dan minimnya stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Perum Bulog.  

"Hal ini berpotensi menimbulkan maladministrasi dalam pengambilan keputusan impor beras,” kata Yeka dalam keterangan pers, Kamis (8/12/2022).  

Ia menjelaskan, merujuk pada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah tahun 2021, terdapat 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras maupun besaran CBP sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Indikator-indikator itu adalah perkembangan luas lahan, perkembangan potensi produksi padi dan beras nasional, proyeksi ketersediaan CBP, ketersediaan stok CBP pada Perum Bulog, ketersediaan stok beras di rumah tangga, penggilingan dan pedagang, perkembangan konsumsi beras per kapita, perkembangan ekspor dan impor beras, perkembangan harga beras/stabilisasi harga beras, target penyerapan dan penyaluran Perum Bulog atas produksi beras dalam negeri, kalender masa tanam dan masa panen, ancaman produksi pangan, dan keadaan darurat dan krisis pangan.

Ombudsman juga menyayangkan adanya perbedaan data antara Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog dengan Kementerian Pertanian. Badan Pangan Nasional menyatakan CBP yang dikelola oleh Perum Bulog berkurang 50 persen dari batas aman stok beras sebanyak 1,2 juta ton per tahun, sedangkan Kementerian Pertanian menyatakan stok beras surplus. 

“Polemik yang dipicu oleh perbedaan data stok beras antar K/L terkait, sebetulnya merupakan kejadian berulang sebagaimana kegaduhan rencana impor beras untuk keperluan CBP pada awal tahun 2021 lalu. Data stok beras hanya sebagian kecil dari banyaknya faktor yang penting diperhatikan oleh pemerintah sebelum mengambil keputusan impor beras untuk CBP,” ujar Yeka.

Data yang dihimpun Ombudsman RI, sampai dengan 6 Desember 2022, stok beras total yang dimiliki oleh Bulog mencapai 503 ribu ton di mana sebanyak 61 persen dari stok tersebut merupakan CBP. Pihak Bulog memperkirakan bahwa pada Desember tahun ini masih harus mengeluarkan stok sebanyak 200 ribu ton sehingga sisa stok yang ada hanya sekitar 300 ribu ton.

Menurut Yeka, apabila melihat data kebutuhan beras nasional dalam sebulan rata-rata mencapai 2,5 juta ton, serta angka stok beras minimum sesuai penugasan kepada Perum Bulog dari Rakortas rata-rata sekitar 1,5 juta ton, maka dengan stok beras yang ada saat ini terdapat disparitas yang masih perlu dipenuhi oleh Perum Bulog dengan berbagai skema yang bisa dilakukan.

 “Proses pemenuhan kekurangan stok beras yang akan dilakukan dihadapkan pada pilihan yang cukup krusial. Di mana ketika pilihan dijatuhkan kepada penyerapan dalam negeri, maka akan dihadapkan pada kondisi tingginya harga gabah,” tutur Yeka.

Tercatat, harga gabah di penggilingan saat ini sudah mencapai Rp 6.000 - 6.300 per kg. Situasi harga tersebut akan berdampak pada harga beras di hilir yang idealnya ada pada rentang Rp 11.000 - Rp 12.000 per kg. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium adalah Rp 9.450 - Rp 10.250 per kg.

Berdasarkan temuan Ombudsman di Provinsi Banten, Bengkulu, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Gorontalo, selama Oktober hingga November 2022, harga gabah terendah yang ditemukan di lima provinsi tersebut adalah Rp 5.150 per kg. 

“Dengan kondisi harga gabah yang tinggi, Perum Bulog mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri, karena harga pasar gabah sudah diatas Harga Pembelian Pemerintah,” jelas Yeka.

Yeka menambahkan, meskipun keputusan impor tidak selalu berdampak buruk, pemerintah harus mengedepankan aspek tata kelola yang baik dan tetap perlu mengkaji ulang urgensi impor beras CBP dan dapat memberikan penjelasan kepada publik atas pertimbangan diambilnya keputusan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemerintah perlu memperhatikan penetapan waktu impor.

“Jangan sampai barang impor tersebut justru tiba di Indonesia pada saat panen raya awal tahun 2023, sehingga tidak memberikan perlindungan kepada kepentingan dan kesejahteraan petani,” tegas Yeka.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement