Selasa 19 Feb 2019 11:14 WIB

Ironi Pembelajaran Abad 21

Semangat pembelajaran abad 21 efektif untuk mengoptimalkan potensi anak

Pendidikan/Ilustrasi
Foto: Antara
Pendidikan/Ilustrasi

Hampir 6 tahun penulis mendampingi anak-anak di kelas IX jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tiap tahun gelisah dan tegang senantiasa dirasakan anak-anak dan guru mendekati Ujian Nasional. Tak tega melihat anak-anak wajahnya pucat bahkan hingga jatuh sakit.

Walaupun Ujian Nasional saat ini tidak lagi sebagai penentu kelulusan tetap saja, anak-anak dan guru perlu persiapan ekstra menghadapi berbagai ujian, baik Ujian Sekolah maupun Ujian Nasional. Apalagi sekarang Ujian Sekolah pun berstandar nasional.

Soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) ditetapkan dengan ketentuan 75 – 80 persen disusun oleh MGMP kota setempat dan 20 – 25 persen dari Kemendikbud. Bidang studi yang diujikan meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, IPS, Prakarya dan Kewirausahaan, Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan, Seni Budaya, dan Bahasa Daerah.

Sementara itu, pada sisi lain pembelajaran abad 21 menuntut anak-anak untuk kreatif, inovatif, komunikatif, dan kompetitif. Tak heran jika guru-guru pun semakin termotivasi untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis High Order Thinking Skill (HOTS). Virus itulah yang saat ini sedang menyebar pada guru-guru di Indonesia.

Menurut penulis antara USBN dan UN kurang relevan dengan tuntutan pembelajaran abad 21 yang melibatkan 4 hal (HOTS, kreatif dan inovatif, komunikatif, dan kolaboratif). Seandainya USBN dan UN tetap diadakan sebaiknya hanya mengukur kompetensi anak-anak berkaitan dengan materi selama di jenjang akhir saja, yaitu kelas VI, IX, dan XII. Sementara jenjang sebelumnya melakukan penilaian yang mengarah pada pengembangkan dan penajaman 4 hal tersebut.

Tidak seperti USBN dan UN yang multiple choice. Selain itu, bidang studi yang sudah diujikan di USBN sebaiknya tidak diujikan lagi di UN. Dengan demikian, beban yang dirasakan anak-anak pada jenjang akhir tidak terlalu berat dan membebaninya.

Sudah menjadi rahasia umum pula bagaimana ramainya bimbingan belajar pada musim-musim mendekati Ujian Nasional. Beragam kegiatan try out pun digelar untuk mengukur sejauh mana anak-anak mampu memilih jawaban yang disajikan dengan tepat.

Semakin bagus hasilnya maka bisa dipastikan anak tersebut semakin siap dan sebaliknya.  Padahal sekolah juga sudah memberikan jam tambahan untuk melatih anak-anak supaya tepat memilih jawaban ketika ujian nanti.

Namun, anak-anak masih kurang percaya diri jika belum ikut bimbingan belajar karena ingin mendapatkan trik cara cepat. Tentunya kondisi ini bukan menjadi harapan sekolah. Sungguh kontra produktif. Apalagi kalau dicermati ada oknum bimbingan belajar yang sengaja membocorkan soal-soal ujian.

Hal itu dikarenakan  guru-guru sekolah ada juga yang mengajar di lembaga bimbingan belajar. Sungguh memprihatinkan melihat kenyataan pendidikan di negeri ini. Kejujuran sangat susah ditanamkan. 

Desain pembelajaran abad 21 apabila benar-benar bisa diwujudkan niscaya akan melahirkan generasi unggul yang siap memajukan Indonesia. Pembelajaran abad 21 disambut dengan sangat antusias oleh guru-guru. Guru-guru se-Indonesia sangat mendukung dan mengembangkan pembelajaran berbasis HOTS dan bertekad memperbaiki kualitas pendidikan anak-anak di Indonesia.

Hal ini bisa dilihat dari animo para guru dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baik melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh Kesharlingdungdikdas maupun Kesharlindungdikmen. Demikian juga bisa dilihat dari karya anak-anak diberbagai perlombaan, baik yang diselenggarakan oleh Kemendikbud maupun oleh pihak swasta.

Hal ini menunjukkan bagaimana perkembangan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Dengan semangat pembelajaran abad 21 sebenarnya sangat efektif untuk mengotimalkan potensi anak-anak. Akan semakin banyak karya anak-anak lahir jika porsi penerimaan murid baru melalui jalur prestasi dinaikkan.

Artinya, nilai USBN dan US bukan lagi menjadi bahan pertimbangan yang utama untuk penerimaan murid baru. Dengan demikian, Ujian Sekolah Berstandar Nasional dan Ujian Nasional sebatas menguji kemampuan akademik anak-anak di jenjang akhir. Sangat disayangkan fasilitas komputer yang diadakan di sekolah jika hanya untuk mengklik jawaban yang ujian yang benar.  

Keberadaan bimbingan belajar pun seyogyanya nanti tidak sekadar melatih anak-anak memilih jawaban seperti saat ini, tapi membantu anak-anak untuk berpikir kritis dan mengembangkan minat serta bakatnya. Harapannya akan lahir generasi-generasi yang siap berkompetisi dengan negara lain.

Tidak akan ada lagi pembocoran soal karena penerimaan murid baru tidak lagi berdasarkan nilai USBN dan UN yang hanya diuji dengan pilihan ganda. Pembenahan dunia pendidikan di Indonesia memang harus terus-menerus dilakukan demi kelanjutan bangsa dan negara ini. Anak Indonesia, bisa!

Pengirim: Sis Ariyanti, Guru SMP Al Hikmah Full day School, Surabaya

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement