Kamis 05 Dec 2019 02:19 WIB

Ilusi Menurunkan Prevalensi HIV-AIDS

Menurunkan prevalensi dengan kondom dinilai tidak efektif kekang penyebaran HIV/Aids

HIV/Aids. Menurunkan prevalensi dengan kondom dinilai tidak efektif kekang penyebaran HIV/Aids
HIV/Aids. Menurunkan prevalensi dengan kondom dinilai tidak efektif kekang penyebaran HIV/Aids

Hari AIDS Sedunia kembali diperingati setiap tanggal 1 Desember. Hingar bingar  peringatannya pun dilakukan oleh negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti yang dilakukan di Lapangan Gazibu, Bandung, pada 1 Desember 2019. Acara diisi dengan pembuatan rekor pita merah MURI terbesar, oleh sekitar 4.000 orang, juga dilakukan pemeriksaan HIV, bakti sosial, dan hiburan. Tema nasional yang diambil yaitu “Bersama Masyarakat Meraih Sukses!”.

Meski setiap tahun, peringatan hari HIV/AIDS tidak pernah absen, namun nampaknya penurunan prevalensi HIV/AIDS masih hanya sebatas ilusi. Kita ketahui upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS saat ini bertujuan untuk mewujudkan target Three Zero pada 2030. Upaya tersebut antara lain tidak ada lagi ada penularan infeksi baru HIV, kematian akibat AIDS, dan stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Berbagai macam program ditelurkan, namun tak juga terwujud target yang diharapkan. Bahkan, justru prevalensi nya terus melonjak naik tak tertahankan. Yang membuat sedih, fakta menunjukkan bahwa penderita HIV/AIDS saat ini bukan hanya mereka yang beresiko tinggi, namun sudah mengancam mereka yang jauh dari publik.

Contohnya di daerah Jawa Barat, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mencatat, berdasarkan data per 2005 sampai 2019, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV kurang lebih 36.000, dan 10 persen di antaranya atau kurang lebih 3.600 dari kelompok ibu rumah tangga (IRT).

Pertanyaannya bagaimana bisa IRT bisa terkena HIV/AIDS? Maka hal tersebut bisa dilihat bahwa saat ini sangat marak fenomena seks bebas. Perilaku “jajan” di kalangan bapak-bapak juga seolah menjadi perilaku yang patut dibenarkan.

Bahkan, cukup sering kita disuguhi berita suami yang tega menjual istrinya demi mendapatkan sejumlah uang. Bahkan hanya sekedar untuk mendapatkan sensasi baru, ada yang melakukan threesome, yaitu hubungan intim bertiga. Sungguh tak beradab.

Belum lagi LGBT yang telah menjadi virus yang menyerang berbagai kalangan. Bahkan gay saat ini menjadi penyumbang nomer wahid dari prevalensi HIV/AIDS. Ada pergeseran juga media penularan HIV/AIDS.

Dulu di atas 50 persen penularan lewat jarum suntik. Tetapi, sekarang lebih banyak melalui hubungan seksual. Di mana mengarah pada LGBT, hubungan sesama jenis. Ada juga ibu-ibu rumah tangga, biasanya karena dapat ‘kado’ dari suaminya

Pemerintah sendiri telah memiliki program khusus untuk mengatasi HIV/AIDS. Strategi Kementerian Kesehatan adalah akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan atau disingkat dengan STOP.

Pada tahun 2017, disebut sebagai strategi Fast Track 90-90-90. Suluh dilaksanakan melalui edukasi atau penyuluhan untuk mencapai 90 persen masyarakat paham HIV. Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini agar tercapai 90 persen ODHA tahu statusnya. Obati dilakukan untuk mencapai 90 persen ODHA segera mendapat terapi ARV. Pertahankan yakni 90 persen ODHA yang ART tidak terdeteksi lagi virusnya.

Program tersebut seolah cantik, namun tak pernah bisa berhasil mencapai target. Tersebab, pencegahan untuk sek bebas saja seolah boleh asal aman maka diberikan solusi dengan sebutan “save sex”. Program “save sex” pun berakhir pada program “C” yakni menggunakan kondom untuk mencegah penularan infeksi.

Padahal sudah banyak penelitian bahwa “C” untuk KB saja tingkat kegagalannya tinggi. Terlebih untuk mencegah infeksi virus yang ukurannya saja 300 kali lebih kecil dari ukuran sperma. Program ini sungguh menyesatkan. Pantas jika prevelensi HIV/AIDS tidak pernah turun tetapi justru terus melejit.

Demikianlah program jika dibuat tanpa mengindahkan agama. Agama dibuang begitu saja atas nama hak asasi manusia. Meski seks bebas jelas perbuatan yang tercela dan dilarang oleh agama, namun demi hak asasi menusia dilegalkan asal “aman”. “Aman” tentu menurut persepsi mereka. Dua kesalahan telah dibuat yakni jelas melanggar aturan Allah SWT kemudian menafikan objektifitas ilmiah bahwa “C” tingkat kegagalannya tinggi.

Maka, menurunkan prevalensi HIV/AIDS hanya akan menjadi ilusi saja jika tetap menggunakan program yang lahir dari tangan manusia. Penyakit menular dan mematikan ini hanya akan bisa ditekan pertumbuhan dan perkembangannya jika semua tata aturan manusia dikembalikan kepada aturan dari Allah swt.

Allah SWT telah melarang berzina dan melaknat tindakan yang menyerupai kaum nabi Luth. Allah SWT juga memberikan petunjuk sanksi yang tegas bagi mereka yang melanggar. Tujuan sanksi tersebut adalah selain menggugurkan dosa pelaku juga untuk mencegah perbuatan serupa di lakukan orang lain di sekitarnya (efek jera).

 Wallahu A’lam bi showab.

Pengirim: Ifa Mufida (Pemerhati Kebijakan Publik)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement