Senin 09 Jan 2012 21:24 WIB

Soal Pembangunan Hotel Berbintang & Mal di Dekat Masjid Raya, Warga Aceh Terbelah

Graffiti warga yang menolak rencana pembangunan Hotel Best Western dan Mall di dekat lokasi Masjid Raya Banda Aceh (foto: dok).
Foto: Budi Nahaba
Graffiti warga yang menolak rencana pembangunan Hotel Best Western dan Mall di dekat lokasi Masjid Raya Banda Aceh (foto: dok).

REPUBLIKA.CO.ID, Pengamat masalah-masalah perkotaan dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Hendro Saki mengatakan di Banda Aceh Senin (9/1), salah satu yang cukup mengkhawatirkan, keberadaan mal akan mematikan masa depan pedagang kecil yang mayoritas bergerak di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), terutama para pedagang di kawasan pusat pasar tradisional, Pasar Aceh.

"Kehadiran mal itu mematikan ribuan sektor usaha kecil (UKM), pedagang-pedagang di situ. Kita harus dorong ulama (pemuka Muslim), Imam masjid Raya," ujar Hendro.

Hendro menambahkan, pembangunan hotel dan mal di sekitar masjid Raya Baiturrahman berpotensi mengganggu pemandangan masjid secara teknis.

Namun, praktisi ekonomi alumni Universitas Syiah Kuala Abdul Quddus mengatakan, ia cukup optimis pembangunan hotel dan mal yang menelan investasi sekitar Rp 200 Miliar itu, akan mampu memberi kontribusi bagi peningakatan pendapatan asli daerah (PAD) terutama dari sektor wisata, serta akan menyerap cukup banyak tenaga profesional yang ada di Aceh.

"Tenaga kerja di Aceh saat sangat banyak menganggur. Kalau itu bisa dimanfaatkan, cukup banyak menyerap tenaga kerja.Hanya saja konsep daripada hotel dan mall itu yang harus dipertegas oleh pemerintah (kota)," tambahnya.

Kalangan pelaku bisnis wisata memperkirakan sedikitnya dibutuhkan lebih 60 hingga 70 orang tenaga profesional yang dapat mengisi formasi berbagai jenis pekerjaan untuk kebutuhan di setiap lantai mal dan hotel yang rencananya dibangun berstandar internasional itu.

Baru-baru ini, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk pembangunan Best Western Hotel dan Mal, dengan nilai investasi sekitar Rp 200 Miliar. Kalangan pejabat Pemkot Banda Aceh mengatakan, rencana pembangunan hotel dan mal itu juga telah melalui analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Berbicara kepada wartawan di Banda Aceh pekani lalu (7/1), Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, pihaknya sampai sekarang mengapresiasi cukup positif seluruh masukan dari masyarakat.

"Saya akan memberikan masukan dan pandangan ini dalam (rapat-rapat) pemerintahan kota Dalam hal ini perkembangannya setahu saya memang belum ada hal (kebijakan) apapun yang diterbitkan oleh pemerintah kota," papar Illiza.

Sebelumnya, pihak pengembang (developer) mengatakan kepada pers, rencananya pembangunan Best Western Hotel dan Mal, dibangun 12 lantai, dengan tinggi bangunan sekitar 40 meter. Pihak pengembang berjanji akan menerapkan konsep pembangunan hotel dan mal yang bernuansa Islami. Lokasi hotel dan mal diperkirakan hanya berjarak sekitar 150 meter sebelah tenggara masjid raya.

Para pemerhati sejarah mengatakan, masjid Raya Baiturrahman, masjid kebanggaan rakyat Aceh itu, merupakan salah satu aset peradaban komunitas muslim dunia. Dari pantauan VOA, selama lebih sepekan ini kalangan warga Banda Aceh tampak berbeda pandangan, terkait pembangunan hotel dan mal dekat bangunan masjid Raya Baiturrahman itu.

"Saya cukup setuju pembangunan Best Western Hotel dan Mall,salah satu investasi jaringan pebisnis Amerika, salah satu wujud kemitraan Amerika dengan Aceh," ujar Uzair, seorang warga.

Sementara, Hanif warga lainnya berpendapat, "Jadi point of view, kan kalau kita ke Banda Aceh, mesti terlihat dulu masjid Raya Baiturrahman, bukan bangunan-bangunan lain yang lebih besar dari masjid."

Beberapa praktisi infrastruktur mengatakan, jika jadi dibangun, Best Western Hotel dan Mal yang menelan investasi senilai Rp 200 Miliar itu merupakan milik salah sebuah jaringan bisnis dunia yang berpusat di Amerika Serikat.

Kalangan praktisi mengatakan, pembangunan Best Western Hotel dan Mal akan menjadi salah satu bentuk investasi infrastruktur sektor wisata terbesar pertama berstandar internasional yang pernah didirikan salah satu jaringan bisnis dunia di pusat kota Banda Aceh, ibukota provinsi, yang telah lebih sembilan tahun lalu menerapkan Syariat Islam.

Pekan ini, kalangan ulama, dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) merupakan salah satu organisasi induk yang menentang kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh tersebut. Kalangan pemuka agama dari HUDA menolak pandangan yang menyamakan rencana pembangunan hotel di dekat masjid itu sama dengan konsep pembangunan hotel-hotel di kawasan Masjidil Haram di Mekah, Saudi Arabia.

Pada Jumat pekan lalu, Ketua Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Profesor Muslim Ibrahim mengatakan, rencana pembangunan hotel dan mal di kawasan atau di lingkungan masjid Raya Baiturrahman itu dapat menganggu kehormatan masjid. Prof Muslim menyarankan hotel dan mall tetap dibangun, namun memilih lokasi ditempat lain.

Sejak diberlakukannya Hukum Syariat pada 2001 lalu, Aceh dikenal sebagai wilayah yang cukup konservatif dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Beberapa ahli hukum mengatakan, pemberlakuan syariat Islam, merupakan salah satu bentuk otonomi untuk Aceh yang diberikan pemerintah pusat.

Hukum Syariat secara khusus melarang homoseksual, khalwat (asusila), perjudian, mabuk-mabukan (khamar) serta berzina. Sanksi terhadap pelaku pelanggaran Qanun Syariah di provinsi Aceh bisa berupa hukum cambuk atau rajam.

sumber : Voanews.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement