Selasa 20 Dec 2011 12:01 WIB

Pemicu Konflik Tanah di Sumsel

Rep: Maspril Aries/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG - Konflik pertanahan atau agraria seperti kasus Sodong  di Sumatera Selatan (Sumsel) terjadi karena adanya ketimpangan dalam kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah ini.

Staf pengajar IAIN Raden Fatah Syawaludin, Selasa (20/12) mengatakan, "Kepemilikan luas lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta lokal dan asing di Sumsel seperti tidak terbatas. Perkebunan tersebut memiliki HGU yang luasnya mencapai puluhan ribu hektare. Ini menjadi salah satu pemicu konflik di lapangan."

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan, "Dibanding kepemilikan perkebunan karet, kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Sumsel memang timpang. Luas perkebunan kepala sawit mayoritas dimiliki oleh investor baik itu dalam negeri maupun asing. Dengan luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai lebih dari 850.000 hektare, komposisi kepemilikannya 60 persen investor dan sisanya masyarakat atau plasma."

"Dengan komposisi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki rakyat sekitar 40 -45 persen, sementara perkebunan dimiliki investor sampai 60 persen, kondisi ini tentunya sangat timpang dan rentan terjadinya konflik," katanya.

Kondisi ini menurut Singgih, berbeda dengan perkebunan karet. "Perkebunan karet di Sumsel hampir 95 persen dimiliki oleh rakyat sehingga sektor ini lebih tentram dan jauh dari konflik," tambahnya.

Terhadap konflik yang terjadi antara warga dengan perusahaan perkebunan khususnya kelapa sawit seperti

Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), menurut Singgih Himawan, "Dinas Perkebunan tidak bisa masuk lebih jauh, kami hanya berwenang dalam rekomendasi pengajuan rencana dan pengaturan plasma. Untuk realisasai kewenangan ada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan menyangkut lahan ada di BPN serta Kehutanan."

Di Sumatera Selatan sampai saat ini dari data Dinas Perkebunan setempat ada sebanyak 206 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di daerah ini dan untuk perkebunan karet hanya diusahakan 38 perusahaan.

Sementara itu menurut Syawaludin kandidat doktor Sosilogi yang tengah melakukan penelitian tentang konflik agrarian di Sumsel, "Konflik yang terjadi dapat diidentifikasi dalam tiga kelompok, yaitu konflik vertikal, konfilik horizontal dan konflik campuran yang aktor di dalam konflik melibatkan negara, pemodal, aparat termasuk PAM swakarsa dan warga masyarakat."

Khusus PAM swakarsa staf pengajar IAIN Raden Fatah ini menyorotinya sebagai faktor menyoroti sebagai faktor yang selalu hadir dan dihadirkan pada setiap konflik antara warga masyarakat dengan perusahan perkebunan seperti konflik di Sodong antara warga dengan PT Sunber Wangi Alam (SWA) yang menewaskan tujuh orang dari warga dan anggota PAM swakarsa.

"Dari berbagai konflik yang terjadi PAM swakarsa dilibatkan, padahal mereka adalah pihak yang tidak mengerti dengan konflik tersebut tapi dilibatkan dalam konflik. Keterlibatan PAM swakarsa ini didorong oleh faktor ekonomi. Karena ketidakmengertian itu maka kekerasan yang menimbulkan korban pun terjadi," ujar Syawaludin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement