REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bakti, mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menambah jumlah personel TNI di Papua. "Ini untuk apa?" katanya seraya bertanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, di Jakarta, Selasa (15/11).
Jika memang penambahan personel untuk mempermudah operasi militer selain perang (OMSP), maka hal itu menurut dia tidak menjadi masalah. Namun, yang paling parah adalah jika penambahan batalyon ini untuk memperkuat dan melegitimasi kekerasan di Papua.
Hal tersebut dinilai Ikrar, sama saja dengan memperparah aksi kekerasan negara di Papua. Ikrar menuturkan masyarakat Papua akan marah jika melihat ada mayat warganya yang merupakan korban kekerasan aparat dibiarkan di pinggir jalan.
Ia menambahkan, hal tersebut justru akan menjadi sorotan masyarakat umum dan membuat mereka akan semakin marah. "Lagi-lagi, ini menjadi pemicu masyarakat disana untuk semakin anti pemerintah," paparnya.
Ikrar menyatakan sikap kekerasan bermula dari paradigma yang salah. "Apa yang dilakukan masyarakat Papua selalu saja diklaim aksi separatisme," jelasnya.
Klaim separatisme ini kemudian dijadikan legitimasi bagi aparat untuk melakukan tindakan kekerasan. Masyarakat Papua akhirnya menjadi korban baik itu psikologis maupun fisik.
Karena itu, LIPI mengusulkan agar penyelesaian Papua dilaksanakan dengan dialog. "Pemerintah harus memberikan dukungan politik bagi masyarakat di sana untuk berdialog dengan pemerintah," imbuhnya.
Dia mengatakan dialog haruslah dua arah. Tidak hanya kepentingan pemerintah, tapi juga masyarakat di sana yang harus didengar.
Hal ini menurutnya akan membuat dialog menguntungkan kedua belah pihak. Ikrar juga mengatakan pengiriman pasukan TNI diharapkannya agar dihentikan. Masyarakat perlu diayomi, bukan diperangi.