Jumat 02 Aug 2013 22:14 WIB

Tarzan Pun Puasa di Shanghai

Shanghai (ilustrasi)
Foto: internations.org
Shanghai (ilustrasi)

Oleh Agus Santoso (Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan)

REPUBLIKA.CO.ID, Dok-dok-dok … Terdengar palu Ketua Sidang diketukkan tiga kali. Itulah tanda Konferensi diakhiri. Mataku otomatis melirik jam tanganku. “Akh, tepat jam !2 siang”, gumamku dalam hati.

Bergegas aku membereskan dokumen, memasukkannya ke dalam tas, lalu menoleh kanan-kiri-belakang untuk bersalam-salaman. “See you!”, “Have a nice flight back home!”, “Bon voyage!”, “Bye!”, berbagai kata-kata perpisahan itu terlontar bersama senyum dan jabatan tangan serta melambaikan tangan.

So! Kesempatan jalan-jalan! Sight seeing Kota Shanghai!” pikirku. Sudah lima hari di Shanghai belum pernah sekalipun meninggalkan hotel tempat Konferensi Internasional ini untuk sekadar jalan-jalan yang agak jauh. Jadi, ini kesempatan terakhir karena besok sudah harus pulang ke Jakarta.

Berbekal satu botol air mineral 330cc, aku segera menuju lobi hotel. Dengan langkah bergegas aku menuju salah satu bus dari panitia yang sudah menunggu. Kupilih bus yang akan mengantarkan kami ke The Bund, pusat bisnis kota Shanghai yang terletak di tepi Sungai Huang Phu. Sungai yang menjadi salah satu urat nadi transportasi air yang membelah kota  Shanghai. 

Karena ini perjalanan pertamaku ke Shanghai, di sepanjang perjalanan, aku sungguh terkagum-kagum. Terutama mengagumi bagaimana Pemerintah Cina menyulap kota ini. Jalan-jalan raya yang lebar melayang di atas atap rumah.

Tak ada rumah kumuh lagi. Semua sudah diganti dengan blok-blok apartemen enam lantai bergenting merah. Di sana-sini terlihat alat-alat berat sedang bekerja untuk membangun gedung-gedung baru. Alhasil, kota seluas tiga kali Jakarta dengan jumlah penduduk dua kali Jakarta atau 23 juta jiwa ini terlihat tertata rapi dan lega.

Keherananku yang lain adalah di Negeri penganut paham Komunis ini, kok tidak terlihat implementasi asas “sama rata sama rasa” seperti yang sering dikatakan orang berlaku di negeri Komunis ya? Aku melihatnya seperti negeri yang menerapkan sistem ekonomi liberal dengan gap pendapatan per kapita yang besar.

Aku melihat mobil-mobil mewah berseliweran. Kalau di Jakarta, harganya mungkin di atas Rp 1 miliar. Padahal, kata orang sana, kalau seseorang membeli 1 unit mobil, maka harga pelat nomor kendaraannya sama dengan harga mobilnya.

Wow … luarbiasa bukan? Sementara itu, di sisi lain, aku melihat masih banyak orang menggunakan sepeda reyot. Kok bisa ya?"

Akhirnya, tibalah aku di The Bund, pusat bisnis yang mashur dengan gedung-gedung pencakar langit bergaya arsitektur futuris. Gedung-gedung modern itu melengkapi gedung-gedung tua berarsitektur barok ciri khas peninggalan  gaya Eropa di zaman berlakunya perjanjian konsesi dengan pebisnis besar mancanegara pada abad 19.

Di sana, juga sedang dibangun gedung tinggi yang konon akan menjadi gedung tertinggi di dunia, terlihat rangka di bagian atas yang masih terus dikerjakan.

Sekejap saja rasa kekagumanku segera berubah jadi rasa panas yang menyengat. “Uhh … panas banget,”gumamku dalam hati. Tengah hari bolong, matahari tepat di atas kepala. Aku berdiri diapit gedung-gedung tinggi yang dindingnya terbuat dari kaca. Panasnya pun saling pantul  dan menyilaukan mata. Apalagi, pas bulan puasa, makin terasa panas dan hausnya tenggorokanku.

Tak lama di The Bund, setelah mengagumi kemampuan para 'tukang insinyur' membangun pencakar langit yang mempesona, dan memandangi air yang mengalir di sungai Huang Phu yang sangat lebar, aku segera mulai menjauh mencari tempat teduh mengikuti langkah kaki.

Singkat kata, tak terasa hari mulai senja. Perutku mulai berdiskusi dengan otak dan mata. “Cobalah kalian mulai mikir dan cari-cari tempat berbuka puasa yang halal”, kata perutku. Otakpun pusing memikirkan kemana harus mencari restoran halal di negeri orang yang penduduk muslimnya minoritas seperti di kota besar ini.

Mataku mulai berputar melirik dan menatap jauh, tapi hasilnya nihil. Semua tulisan berhuruf kanji yang tak dimengerti. Parah! Sementara waktu terus merangkak maju, matahari pun mulai tergelincir ke ufuk Barat.

Setelah otak dan mata gagal, mulut mulai berupaya. Mencoba tanya sana-sini, tetapi hampir semua orang yang ditemui tak mengerti. “Yah gak ada yang mengerti Bahasa Inggris”, mulut bergumam. Haduh …. Bingung! “Tapi aku harus berbuka bung!”, demikian aku menyemangati diri untuk terus berupaya.

Akhirnya ketemu juga anak muda yang bisa membantu, bahkan ia berusaha menunjukkan restoran yang menyediakan makanan halal!

“Luar biasa ….!”, gumamku dalam hati. Dengan penuh perhatian aku dengarkan penjelasannya, walaupun agak susah juga, karena ia berusaha berbicara Bahasa Inggris dengan slang  Cina yang kental. “Oke, thanks so muchshie-shie ..”, kataku mencoba mengikuti ucapan “terima kasih” yang diajarkan salah seorang panitia konferensi.

“Menyeberang, belok kiri, jalan terus sampai ke perempatan. Mnyeberang, ke arah kanan, 50 meter ada toko buah. Maju lagi, sebelum toko mainan anak, ada resto kecil." Beberapakali aku ulang dalam pikiranku, lalu setelah yakin hafal, aku mulai jalan mengikuti petunjuknya.

Dalam perjalanan, kulihat masyarakat Shanghai yang tertib berlalu lintas, tidak menyeberang jalan sembarangan, tetapi selalu sabar menunggu lampu hijau bagi penyeberang menyala untuk menyeberang.

Mobil-mobil juga tertib memperlambat lajun ketika tanda lampu oranye menyala dan berhenti ketika lampu merah. “Hebat!”, aku memuji budaya tertib berlalu lintas di kota megapolitan ini. Budaya tertib berlalu lintas tentu akan mencerminkan ketertiban di berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan bukan?

Setelah jalan kaki sekitar 10 menit, mataku melihat ciri-ciri yang disampaikan si pemuda pemberi petunjuk jalan tadi. “Ahaa. toko buah. Mana Toko Mainan itu?" teriakku dalam hati sambil mataku mencari-cari Toko Mainan. “Ooh itu dia ..!”,  gumamku, ketika  melihat beberapa mobil-mobilan yang bisa bergoyang dengan memasukkan koin logam terlihat di depan sebuah toko.

“Lalu mana dia restoran halal food itu,” kataku dalam hati ketika sudah melewati toko buah dan mulai mendekati toko mainan. Aku berhenti sejenak, celingukan, hingga berputar badan. “Nah, itu dia," teriakku dalam hati ketika melihat sepenggal huruf Arab yang artinya “Halal”.

Resto itu kecil, lebarnya mungkin hanya empat meter. Pintu kacanya di tengah, di depannya ada kompor dan panci, apinya menyala, nampaknya merebus kuah.

Aku masuk ke dalam, lalu member salam “Assalamualaikum”, sapaku dan segera terdengar jawaban berbarengan “wa’alaikum salam." Dua lelaki muda dan seorang wanita muda berhijab menyambut salamku. Semua bermata sipit, berkulit kuning, wajahnya lonjong saling memiliki kemiripan khas. “Sepertinya mereka berasal dari satu suku," aku segera menerka dalam hati.

Lalu aku mencoba membuka percakapan dengan Bahasa Inggris menanyakan tentang makanan apa yang mereka bisa sediakan.

Waduh… mereka sama sekali tak mengerti Bahasa inggris nih ..!”, kataku dalam hati sambil pusing. Tapi untunglah resto itu menyediakan foto-foto makanan berwarna tapi tak bernama dan harga dalam mata uang Yuan yang ditulis dengan angka latin. “Oh syukurlah”, gumamku sambil mulai memperhatikan foto-foto makanan itu satu demi satu.

Waduh, makanannya tampak aneh-aneh nih, banyak gambar sayuran yang tidak aku kenal kecuali taoge, caysim putih, dan paprika. Dengan gamang aku coba menunjuk satu gambar, namun dengan cepat salah seorang pemuda yang meladeniku menggelengkan kepalanya.

Lalu kutunjuk lagi satu gambar, dia geleng lagi. Nah, mulailah proses komunikasi kami menggunakan Bahasa Tarzan alias bahasa isyarat.

Setelah beberapa kali, “iii ….eeee …iiii …..hmmmm …. Tok tok tok (suara ketukan jari) ..”, akhirnya bisa juga memesan dua jenis masakan, satu sejenis sup dan satunya dalam bayanganku sejenis masakan kalian cha daging sapi, tapi yang pasti sayurannya bukan kailan, tetapi semacam kacang panjang.

“Oke … ini dan ini.. !”, kataku sambil menunjuk dua foto itu dan mengacungkan jempol, sedangkan dia mengangguk-angguk tanda mengerti dan mengiyakan, lalu mendekati ibu muda yang rupanya sang koki, dan berbicara dengan bahasa sukunya.

Muncul persoalan baru, yaitu memesan nasi. “Waduh, bagaimana ini cara menjelaskannya”, pikirku. Mataku mulai lagi mencari-cari foto makanan yang ada gambar nasinya. Untung ada, walaupun berada di dalam foto masakan yang bukan pesananku. Aku melambaikan tangan, dan jariku menunjuk sambil mebuat lingkaran, hanya pada gambar nasi putihnya saja.

Ia mengangguk, tapi aku tak yakin, sebab seorang lagi sibuk menyiapkan potongan-potongan terigu seperti kwietiauw, tapi lebih tebal dan lebih lebar. Jadi aku dekati mejanya, dan aku tunjuk sambil geleng-geleng kepala, “bukan pesen yang beginian lho .. tapi aku mau nasi."

Aku berusaha menjelaskan dan mengulangi dengan menirukan gaya “bukan makan pake sumpit” tapi “makan nasi pake sendok”. Mereka berdua menganguk-angguk dan berdiskusi diantara mereka.

Menunggu makanan tiba cukup menegangkan, karena aku tidak puny aide, model makanan apa yang dating dan rasa masakannya seperti apa. “Ah sudahlah, yang penting halal”, demikian aku bergumam mebesarkan hatiku.

Trok ..kres ..kres ..kres ..trok, “ terdengar si ibu memotong sayuran. Aku berdiri mendekati kaca dapur dan melihat sayuran aneh sedang dipotong-potong.

“lho sayuran apa itu yaa … kok seperti batang bayam, tapi seperti agak keras, tapi masa sih batang bayam, tapi kacang panjang bukan, asparagus bukan, apa rotan muda?”, berbagai pertanyaan muncul di benakku melihat sayuran yang belum pernah kulihat sebelumnya. “ah sudahlah pasrah .. yang penting bisa berbuka’, kataku dalam hati.

“Waduh, belum pesan minuman nih! Gimana lagi nih cara pesannya?” pikirku. Aku melambaikan tanganku, dan seorang pelayan menghampiriku. Tanganku menggenggam layaknya gelas dan menghampirkannya ke bibirku. “Oowh ya ya ya”, katanya, lalu menyambung “ocha ..ocha ..ocha?" sebutnya seraya bertanya. “Aaaa .. ya ya ya ..”kataku cepat sambil berbinar.

Untung di Jakarta aku sering dengar kata “ocha” itu artinya “teh”. Dia segera mengambil mug keramik yang cukup besar ukurannya, lalu membuka kaleng berisi daun teh kering, dan menyeduhnya dengan air panas dari termos. “Haaa …”, katanya sambil mengangguk-angguk dan menaikkan jempolnya. Kulirik mug panas berisi air panas dan daun teh yang mengambang memenuhi permukaan mug.

Sambil menunggu waktu berbuka. Aku memperhatikan jurumasak, sebagaimana memasak Chinese food, api menyala-nyala diatas wajan, harumnya bumbu sudah memenuhi ruangan.

Aku adalah tamu satu-satunya di restoran itu. Maklumlah, belum saatnya jam makan malam. Sementara itu, si pemuda yang sibuk membuat adonan terigu, masih asik bekerja dengan bahan terigunya.

Aku juga tak paham makanan apa yang hendak dibuatnya, dia memotong-motong adonan terigu itu sebesar kuku ibu jari, namun berbentuk jajaran genjang. Mau bertanya, terbayang sudah akan sulitnya berkomunikasi. Yang terjadi cuma kami saling melihat dan saling tersenyum saja.

Aku melirik kearah mug yang panas, daun teh semakin mengembang dan perlahan turun ke dasar mug, lalu airnya menampilkan warna kekuningan dengan wangi teh hijau yang harum. Akupun segera melirik kearah jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan belas malam waktu Shanghai, jamnya berbuka puasa! Kulihat, pembuat adonan terigu juga sudah menyelesaikan tugasnya, penuh satu mangkuk besar.

Alhamdulillah … sedapnya rasa teh hijau hangat itu membasahi bibir dan kerongkonganku. Aku mengacungkan jempolku kepada mereka bertiga. Mereka tampak bangga. Aku tak mengerti mereka bicara apa, tapi mungkin ingin mengatakan bahwa itu adalah daun teh terbaik dari dusun mereka yang terletak di atas gunung. Kira-kira itu yang bisa kutangkap dari bahasa tubuhnya. Dengan bahasa “Tarzan” pula aku membalas, bahwa teh yang disajikan memang sungguh nikmat. Bersama mereka kami berbuka puasa. 

Tak lama kemudian, masakan pesananku mulai berdatangan di atas mejaku. Semangkuk nasi putih dan semangkuk sup. Aku mulai mengaduk-aduk sup dan mencicipi …”Oalah  rasanya seperti sup kimlo thooo ..”, demikian kesanku, hanya saja kuahnya sepertinya diberi kecap manis, sehingga rasanya ada gurih manisnya. Isinya bihun, sawi putih, jamur kuping, beberapa jenis jamur lain yang tidak aku kenal, serta potongan sejenis empek-empek. 

Tak lama kemudian datang sepiring masakan berbahan “batang bayam” tadi yang di-cha dengan daging sapi tipis-tipis ditaburi sejenis gerusan kacang tanah. “Wah aneh lagi nih masakan”, pikirku.  Aku sungguh tak bisa mengenali jenis sayur apakah ini yang dihidangkan di depanku.

Padahal, aku adalah praktisi pertanian, yang punya cukup pengetahuan tentang sayur mayur dan cara menanamnya. Tak tahan dengan rasa keingintahuanku, aku ambil sebatang dengan sumpit dan kurasakan … “Hmmm .. apa yaaa?”, otakku berputar, tapi yak arena barang baru, ya jelas saja tak ada di memoriku.

Aku gak tau, jenis sayur apa ini. Tapi rasanya lumayan … maksudnya lumayan aneh … betul, aneh! Tapi citarasanya masih bisa diterima oleh lidah pengecapku. Sip! Voila! Bonapetit! Mari makan! Aku menganggukkan kepala kepada mereka berdua dan mereka juga mengangguk sambil tersenyum.

Aku rasanya cukup berkonsentrasi untuk melahap pesanan masakan ini sesendok demi sesendok, merasa-rasakan citarasa bumbu kulinernya dan sambil memperhatikan apa-apa saja isi masakan ini, sampai suatu saat, tak sengaja aku melirik ke meja sebelah, melihat mereka bertiga makan makanan berbuka mereka.

Wow … mereka rupanya membuat masakan berbasis potongan terigu jajaran genjang tadi. Rupanya bentuk setelah menjadi masakan agak mirip seperti Kolak Biji Salak, tapi yang ini tentu rasanya bukan manis gula merah dan santan, tetapi kira-kiranya kuahnya kental mirip masakan Ie Fu Mie, atau Bakmi Godog Kuah Kental. Tampak mereka makan dengan lahap dan gembira.

Akhirnya, kenyang! Pas mau membayar, masih ada persoalan kecil lagi. Mereka tak punya kalkulator dan kesulitan mencari pensil atau ballpoint.

Namun toh tak kurang akal, salah satu diantara mereka mendekati mejaku dan menorehkan jari telunjuknya di mejaku ….. aha … toh dimengerti juga. Kami langsung saling senyum, uang dibayarkan, lalu sisanya dikembalikan.

 Kami saling mengangguk, saling melempar senyum, dan aku mendahului berkata “Shie-shie, Asalamualaikum …” dan mereka menjawab “Shie-shie ni …, waalaikumsalam.” untuk terakhir kalinya aku menoleh kearah resto kecil bertuliskan “Halal” itu, sambil bergumam “Begini rasanya jadi Tarzan berpuasa di negeri orang”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement