Jumat 02 Apr 2021 23:26 WIB

Mengapa Terorisme Sulit Dihentikan? Ini Jawaban Muhammadiyah

Muhammadiyah menilai Program Deradikalisasi penting dievaluasi

Anggota Brimob Polda Sulsel berjaga di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (31/3/2021). Jelang perayaan hari Paskah 2021, penjagaan di gereja tersebut diperketat pascaledakan bom bunuh diri pada Minggu (28/3/2021).
Foto: ANTARA/Arnas Padda
Anggota Brimob Polda Sulsel berjaga di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (31/3/2021). Jelang perayaan hari Paskah 2021, penjagaan di gereja tersebut diperketat pascaledakan bom bunuh diri pada Minggu (28/3/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan tindak pidana terorisme tidak dapat atau sulit dihentikan di Indonesia.

"Pertama, pola penanganan di luar sistem peradilan pidana yang lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan," kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, pada diskusi dengan tema terorisme, HAM dan arah kebijakan negara yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Jumat (2/4).

Baca Juga

Dia menyebutkan dari 131 terduga atau tersangka teroris termasuk kasus Siyono, pada umumnya penindakan lebih kepada mematikan bukan melumpuhkan. Selama ini sistem peradilan penanganan tindak pidana terorisme selalu terpusat. 

Padahal, menurut dia, tidak ada pasal yang mengatur untuk hal ini. Sebagai contoh jika ada penangkapan teroris di Medan atau Makasar maka dibawa ke Jakarta.

Kalau pun ingin dibawa ke Jakarta, maka sidangnya harus tetap dikembalikan ke masing-masing tempat. Tujuannya, agar tidak terjadi ruang sunyi persidangan.

"Ruang persidangan terorisme itu saya katakan adalah ruang sunyi persidangan," kata dia. Di satu sisi, Trisno memahami tujuan tersebut agar tidak ada gangguan jalannya proses persidangan. 

Kendati demikian, ke depan hal itu harus dipertimbangkan. Ruang sidang yang sunyi justru menjadikannya jauh dari keterbukaan dalam persidangan. 

Dia menyebut di Amerika Serikat kasus tindak pidana terorisme dianggap sebagai sebuah perang sehingga tidak mau dibawa ke meja peradilan sipil. Kemudian, alasan mengapa tindak pidana terorisme sulit dicegah karena pengawasan dari DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih lemah, termasuk pula kegagalan program deradikalisasi.

Menurut dia, Program Deradikalisasi perlu dievaluasi secara mendasar. Sebab, sasaran-sasaran yang akan dideradikalisasi tersebut atau programnya tidak optimal untuk dikembangkan.

Terakhir, menimbulkan rasa takut dan memiliki "jaringan" sebagai komoditi. Ada anggaran pencegahan, ada penindakan atau ada juga pesanan yang kaitannya dengan satu program yang muncul. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement