Senin 08 Feb 2021 13:58 WIB

Prasangka Berujung Fitnah

Agama apapun tidak merestui seseorang melakukan prasangka

Prasangka (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Prasangka (Ilustrasi)

Oleh Deviyanti (Konselor dan Hipnoterapis di SMPN 8 Jakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Di era globalisasi seperti saat ini, informasi menyebar dengan cepat karena didukung oleh kecanggihan tekhnologi. Dengan sekali klik saja sebuah informasi apapun dapat diakses ke penjuru dunia.

Akan sangat bermanfaat jika keberadaan teknologi diiringi dengan rasa tanggung jawab dalam penggunaannya. Realita di lapangan, masih banyak orang yang belum bijak dalam menyikapi sebuah informasi yang diterima melalui media komunikasi. Informasi diterima dengan bulat tanpa disaring atau ditelaah terlebih dahulu sehingga menghasilkan prasangka yang jauh dari kebenaran. 

Prasangka inilah yang banyak dipertontonkan di media komunikasi dalam bentuk ujaran kebencian, menghujat, menghina, memaki dan lainnya kepada pihak lain. Bahkan saat masa Pemilu Presiden, Bapak Jokowi pernah mencurahkan isi hatinya perihal perilaku masyarakat yang belum bijak dan mengedepankan prasangka kepada dirinya sehingga menimbulkan fitnah, 

"Saya sudah 4,5 tahun dihina-hina, difitnah, dijelek-jelekkan, direndah-rendahkan, dihujat-hujat. Saya diam..saya diam..saya diam, saya sabar..saya sabar ya Allah. Tetapi hari ini saya minta saudara saudara sekalian, meluruskan fitnah fitnah itu setuju." 

Nampak jelas bahwa sekelas kepala negara saja ketika mendapatkan perlakuan tersebut merasa tidak nyaman. Beliau berusaha acuh terhadap hujatan dengan cara bersabar dan diam, namun dibalik kesabaran tersebut terpendam rasa tidak nyaman dan menyiksa perasaannya sehingga meminta untuk meluruskan kenyataannya. Kejadian ini dirasakan juga oleh banyak orang karena oknum warganet yang terprovokasi oleh sebuah berita sehingga membentuk prasangka dan berujung fitnah.  

Prasangka merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan. Agama apapun tidak merestui seseorang melakukan prasangka, karena akan membawa cara pandang ke arah negatif kepada orang lain.  Terlebih jika prasangka sudah mejadi kebiasaan yang buruk, kemudian dibawa dalam sebuah komunikasi sehingga merugikan orang lain.

Acap kali kita berbincang dalam hati atas sesuatu yang di anggap kurang pas, bahkan menggunjingkan  seseorang berdasarkan perspektif diri sendiri tanpa mencari tahu lebih dalam kebenarannya. Yang dilihat hanya tampak muka, tanpa mengetahui apa sajakah yang ada di balik permukaan atau penyebab timbulnya kenyataan tersebut, lalu dengan mudah membuat berprasangka lalu berujung fitnah. 

Fenomena ini sangat relevan dengan teori gunung es dari Ernest Hemingway, bahwa sebuah gunung yang terlihat hanya 20% saja, sementara jika kita berusaha untuk melongok jauh ke bawah masih ada 80% penampakan yang lebih besar. Dalam hal ini kita merasa yakin sudah mengenali seseorang kemudian berprasangka kepada orang tersebut, sementara fakta yang kita ketahui dan dianggap benar itu hanyalah 20% kebenarannya. Lalu  menafikan  80% kenyataan yang masih jauh dibelakangnya, yang pada akhirnya menimbulkan  fitnah, tuduhan, caci-maki, dan lainnya.

Prasangka sangat berpotensi ke arah fitnah. Begitu keji dan tidak mendatangkan kebenaran bahkan menimbulkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

                    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dustanya perkataan.” (HR. Bukhari  dan Muslim).

Rasulullah SAW tegas mengatakan bahwa kita harus menjauhi prasangka. Perbuatan prasangka merupakan perlakuan yang dzolim bagi objek penderita karena sedusta-dustanya perkataan. Apalagi jika prasangka ditambah dengan bumbu yang sedap, sehingga menambah nikmatnya rasa dalam menikmati sajian prasangka tersebut bagi yang menikmatinya. 

Orang yang berprasangka lalu memfitnah mungkin saja tidak berdampak apapun, namun bagi orang yang menjadi objek sangatlah targanggu secara fisik maupun mental. Mereka  yang kuat dapat menyikapi dengan sabar dan tenang sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupannya bahkan kejadian tersebut bisa dijadikan sarana introspeksi bagi diri. Di sisi lain perbedaan terlihat  bagi mereka yang tidak kuat, hal ini bisa menjadikan dirinya emosi, stress, depresi bahkan gila karena merasa malu, marah terhadap fitnah yang dihadapi  sehingga membuat dirinya di hujat, dipermalukan dan lainnya atas apa yang tidak diperbuatnya.

Di dunia ini segala sesuatu yang kita lakukan akan kembali pada diri. Begitu pula dengan kebiasaan yang tidak mencari tahu kebenaran dari sebuah berita sehingga menimbulkan prasangka yang berujung fitnah. Dari sudut pandang agama jelas  bahwa mereka yang berprasangka seperti layaknya memakan daging saudara dan dikategorikan pada perbuatan dusta. Dari segi sosial orang tersebut akan merasa bersalah, tidak tenang, menimbulkan permusuhan, merasa kesepian dan lain sebagainya. Sungguh sangat keji dan berdosa jika kebiasaan berprasangka terus menerus dipertahankan sehingga menjadi sebuah karakter dalam diri. Kita akan menjadi orang yang tidak berperasaan karena akan terus menyakiti orang lain. Untuk itu marilah kita  mulai berbenah diri dan selalu berbaik sangka. Semoga Allah membimbing kita semua, Aamin.

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement