Senin 08 Jun 2020 13:04 WIB
Islam

Gus Dur Soal Ratu Adil: Mahdiisme dan Protes Sosial (Bag 1)

Ratu Adil Mahdiisme dan Protes Sosial dalam benak orang Islam

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Inilah tulisan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid di masa muda. Tulisan yang membahas soal gerakan ‘mesianis’ atau yang dalam Islam disebut gerakan Imam Mahdi (kerap juga disebut Mahdiisme) yang di dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil.

Tulisan yang terbit dalam Majalah Prisma 1, Januri 1977 itu berjudul ‘Mahdiisme dan Protes Sosial’.

Tulisan ini diturunkan kembali setelah membuka arsip majalah Prisma yang tersimpan. Dan kiranya cukup tepat bila melihat suasana masa kini yang banyak orang mengatakan adanya serba tidak ada kepastian terkait dengan istilah 'New Norma' (normal baru). Alhasil, dalam situasi seperti ini maka pikiran mengenai  gerakan ‘Mahdiisme’ atau Ratu Adil akan kerap muncul bersliweran.

 

Situasi seperti serba tak menentu dengan adanya meluasnya wabah, bencana alam, dan ancaman kemiskinan seperti sekarang ini, di Jawa dahulu juga muncul menjelang pecahnya huru-hara Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830). Kala itu ada meluasnya penyebaran penyakit kolera akibat meledaknya Gunung Tambora di Sumbawa (bahkan sampai ke India), melestusnya Gunung Merapi, ancaman kemiskinan yang meluas, serta ketidakpastian politik di kekuasaan Kraton Jawa, hingga pengaruh globalisasi akibat revolusi industri dan Revolusi Prancis.

Tulian Gus Dur yang kami akan muat secara serial karena panjangnya tulisan. Dan ini merupakan segmen bagian pertama (1).

--------------------

Sebenarnya tidaklah tepat untuk membatasi pengertian mesianisme dalam Islam hanya pada Mahdiisme belaka. Tetapi keterbatasan  ruang menghendaki pembatasan pembicaraan seperti itu, walaupun Mahdiisme  bikanlah satu-satunya jenis gerakan mesianis dalam Islam. Pembatasan pokok pembicaraan hanya dalam gerakan Mahdiisme  adalah disebabkan oleh sifatnya sebagai manifestasi utama dari mesisnisme Islam, sehingga ia seringkali justru dianggap sebagai mesisnisme Islam itu sendiri.

Penyamaan tersebut sering melupakan kenyataan bahwa Mahdiisme adalah gerakan mesianis terkecil dalam luas-lingkup pemikirannya dan terdangkan tradisinya di antara gerakan-gerakan mesinis utama di antara gerakan-gerakan utama mesinis utama dari agama-agama besar di dunia. Dengan demikian pembicaraan tentang Mahdiisme perlu diletakkan dalam perspektif tertentu yang akan memagari hakekat dirinya dari penyamarataan gerakan-gerakan mesinis lainya, Perspei tersebut diperlukan pula bagi pengendalian Mahdiisme sebagai manifestasi berwajah banyak dari fenomena yang satu.

Mahdiisme semual berasal dari proses politik yang timbul dari pergolakan merebut kekuasaan pemerintahan antara sekian banyak kelompok yang saling bermusuhan pada permulaan sejarah Islam. Ia bermula dari kegagalan menyedihkan dari serangkaian pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh sekte Syiah yang berjalan dua abad lamanya, menentang pemerintahan dinasti Umayyah dan kemudian dinasti Abbasiyah. Kegagalan berturut-turut itu, yang umumnya harus dibayar sangat malah dengan darah dan air mata, akhirnya menimbulkan semacam kepercayaan di kalangan sekte Syiah tentang akan menghilangna imam terakhir mereka secara ajaib, untuk menunggu masa munculnya kemuka bumi sebagai Mahdi (“ia yang memperoleh petunjuk yang benar”) guna menegakkann kembali kebenaran dalam Islam.

Keyakinan akan munculnya juru selamat (mesiah, bahasa Arab: al-Masih) berupa Mahdi ini dengan demikian berakar pada dan dengan sendirinya memiliki perwajahan politis. Perwatakan ini tetap melekat pada doktrin tentang Mahdi hingga sekarang ini, walapun demikian doktrin itu sendiri berkembang menjadi doktrin teologis yang bersifat ekatologis.

Dari diktrin yang semua hanya berkembang dalam kalangan sekte Syoah belaka, Mahdiisme kemudian diadoptir oleh Islam ortodoks, walaupun dalam bentuk yang telah mengalami modifikasi. Mahdi sang jru selamat, yang dalam kepercayaan kelompok Syiah Ismailiyahadalah personifikasi nabi terakhr  (kepercayaan  yang justru bertentangan dengan doktrin Islam ortodoks tentang terputusnya rantai kenabian dengan diutusnya nabi Muhammad sebagai nabi terakhir), dalam ortodoksi Islam berubah “turunan” nabi Muhammad yang  akan melanjutkan kekhalifahan murni yang telah dimulai dari para khafilah keempat yang pertama (‘khulafa al-Rasyidin).

Sang Mahdi ini akan menolong  umat manusia dari tirani yang telah bersimaharajalela di mana-mana, akan membawa segala macam betuk kejahatan. Pada akhirnya pemerintahannya, akan datang menyerang tiran baru dalam bentuk Dajjal, untuk menghadapi makhluk  mana yang akan turun nabi Isa kembali ke muka bumi dan dan membunuhnya sekali. Setelah itu beliau akan bersmebahyang dengan dipimpin oleh Sang Mahdi, saat mana akan menandakan datangnya hari kiamat saat dunia telah dipenuhi keadilan dan ketentraman.

--------------

Mahdiisme, dalam pengertian historisme, selalu hanya dianggap sebagai protes politik. Tetapi sebenarnya gerakan ini pada dirinya sendiri adalah protes sosial, walaupun biasanya memiliki kaitan dengan didasarkan atas ‘klaim politik’. Kenyataan ini akan lebih dapat difahami, kalau dalam menunjukkan jari alamat Mahdiisme kita tidak hanya membatasi diri pada gerakan-gerakan besar yang tercatat dalam buku-buku sejarah belaka, melainkan juga memasukkan dalam pengenalan kita kasus-kasus Mahdi-istis yang kecil-kecil terserak di seluruh dunia Islam selama beradab-adab.

Dalam gerakan-gerakan Mahdi-istis yang besar sekalipun masih dapat ditelusuri sebab-sebab sosial yang mendasarinya, seperti dalam contoh pemberontakan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan pada abad yang lalu, yang mengakibatkan perubahan perimbangan kekuatan besar di kawasan Timur Tengah waktu itu. Tampak jelas sebab-sebab sosial sosial yang membatasi pemberontakan tersebut.

Dari gerakan Mahdi-istis Sudan ini tentang persamaan derajat di antara pengikutnya justru bertentangan dengan kakunya hubungan strata sosial di Sudan waktu itu antara budak dan ‘orang merdeka’ yang tidak menjadi budak, jelas bahwa gerakan tersebut bermula dari sebab-sebab sosial.

Demikian pula Mahdiisme yang dibawakan oleh Ibn Tumart  (meninggal 1130 M), pendiri imperium Muwahidin (Almohads) yang menguasai hampri seluruh Afrika Utara dan Spanyol Sleatan dari tahun 1130-1269, dimulai dari sebab sosial yang antara lain berupa mengendurnya penguasaan hukum agama (syariah) atas kehidupan pada masa khir pemerintahan dinasti ‘Murabitun (Almoravids) di kawasan tersebut.

 

Studi Sartono Kartodirdji tentang gerakan protes di jawa pada abab yang lalu (abad 19) dan permulaan abad ini, di mana dipelajari pula beberapa corak gerakaan yang bersifat Mahid-istis, jelas menunjukan betapa dalamnya Mahdiisme bersumber pada keresahan sosial yang disebabkan oleh penentuan beberapa sebab yang saling bertali satu sama lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement