Kamis 12 Sep 2019 13:18 WIB

Sirri Gus Sabri

Gus Sabri disimpulkan mempunyai ilmu kasyaf.

Sirri Gus Sabri
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Sirri Gus Sabri

Gus Sabri, siapa yang tidak kenal beliau? Setiap kali nama itu disebut, seperti ada kekaguman yang tak kan habis diceritakan mengenai daya linuwih putra bungsu almarhum Kiai Ridwan Sholeh, pendiri pondok pesantren Pring kuning Kesamben. Diantara kelima saudaranya, Gus Sabri yang paling santer dibicarakan.

Bukan tanpa alasan jika nama Gus Sabri menjadi kondang baik di kalangan para santri maupun warga sekitar. Selain penampilannya yang nyentrik yang membuatnya berbeda dari keluarga ndalem yang lain, juga disebabkan karena tingkah dan ucapannya yang suka nganeh-nganehi dan cenderung tidak bisa dinalar akal.

Di mata para santri sendiri, Gus Sabri adalah seorang pendekar pilih tanding. Semacam tokoh di dunia persilatan yang diceritakan di dalam buku komik atau film silat yang tenar di tanah air tempo dulu. Kadang mereka membayangkan Gus Sabri adalah Jaka Sembung yang dikenal mempunyai tubuh yang kebal senjata tajam dan peluru dari para kompeni, atau Angling Dharma yang bisa menghilang dengan aji halimunannya. Bagi para santri, Gus Sabri adalah ikon Pesantren Pringkuning.

Perawakannya tinggi besar. Rambut panjang ikal terurai sebahu serta kumis dan jenggot yang dibiarkan tak terawat menambah kesan sangar roman muka Gus Sabri.

Baju hitam tak berkerah, kopiah beludru yang sudah berwarna kemerah-merahan karena saking lawasnya menjadi ciri khas penampilan beliau selain sarung cingkrang yang di balut ikat pinggang kulit yang lebar. Selain dari segi pakaian, Beliau juga punya kebiasaan yang unik. Jika bepergian ke manapun, Gus Sabri tidak pernah naik kendaraan dan selalu berjalan telanjang kaki.

Ada sebuah kisah yang sering dituturkan oleh para santri secara tutur tinular dan sudah banyak diketahui para warga sekitar dusun kesamben tentang kesaktian Gus Sabri. Ini terjadi pada masa gencar-gencarnya teror ninja terhadap para Kiai di Indonesia akhir tahun 1998-an.

Pesantren Pringkuning pun tak luput dari ancaman. Pada saat itu, Kiai yang mengasuh pesantren adalah abang dari Gus Sabri, Kiai Musthofa Ridwan atau biasa dipanggil Kiai Mus. Kharisma dan kealiman beliau sudah dikenal luas di masyarakat luas hingga ke wilayah luar daerah Jawa Timur.

Suatu ketika, ketika malam sedang diliputi kegelapan penuh karena cahaya bulan tertutup mendung. Ada segerombolan penyusup yang masuk ke area pondok. Tak seorang pun yang mengetahuinya karena pada saat itu para santri sudah banyak yang pulang karena bertepatan dengan libur hari raya. Suasana pesantren lenggang. Para penyusup berpakaian serba hitam yang berjumlah lima orang itu menjadi sangat mudah menjangkau rumah tempat tinggal Kiai Mus.

Namun sebuah keanehan terjadi. Langkah gerombolan pembunuh itu tercekat ketika melewati pintu pagar ndalem. Mereka mendadak tidak bisa bergerak. Berdiri mematung di halaman rumah.

Jangankan melangkah, berbicara pun para penyusup itu tidak mampu. Hanya mata liar mereka yang masih bisa berkedip-kedip penuh kecemasan. Keberanian mereka lenyap seketika. 

Dan yang membuat mereka dicekam ketakutan adalah karena ada seorang berbadan tegap tinggi besar yang menghampiri dengan rambut panjang terurai, yang anehnya, juntaian rambut itu menyerupai kobaran api yang menjilat-jilat ganas. Hal itulah yang menelan keberanian dan kebengisan para gerombolan penyusup dan membuatnya tergeletak tanpa daya bagai tubuh tak bertulang.

Para penyusup itu tidak bisa beranjak dari tempatnya sampai bunyi kokok ayam jantan bersahutan. Paginya, betapa kaget Kiai Mus dan keluarga ndalem lainnya ketika melihat lima orang berpakaian seperti ninja itu tergeletak di halaman.

Sementara Gus Sabri, adik Kiai Mus terlihat masih nyenyak tidur di sofa teras rumah. Akhirnya para penyusup dilaporkan ke pihak yang berwajib. Maka selamatlah keluarga ndalem dari ancaman pembunuhan.

Tidak hanya itu saja cerita tentang kelebihan Gus Sabri. Beliau juga dikenal sebagai orang yang waskita. Dalam istilah Jawa disebut weruh sak durunge winarah, bisa mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib yang belum terjadi.

Seperti yang dituturkan oleh salah satu abdi ndalem pesantren, Kang Parmin. Ketika itu Kang Parmin sedang bekerja membantu Kiai Mus mengurus sawah milik pesantren.

Ketika sedang sibuk mencangkul, lewatlah Gus Sabri di depannya. Dengan nada yang santai, tanpa ada referensi pembicaraan sebelumnya, tiba-tiba Gus Sabri menyuruh Kang Parmin pulang ke rumahnya.

"Min, besok pulang min!" seloroh Gus Sabri.

"Lho, wonten nopo, Gus?" Jawab kang Parmin setengah keheranan.

"Sudah, kamu pulang saja besok. Ndak kangen sama bapakmu ta min?" terang Gus Sabri sambil berlalu dari Kang Parmin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement