Rabu 30 Jan 2019 14:03 WIB

Koran Ahad

Bukankah hati dicipta untuk membaca hati yang lain?

Koran Ahad
Foto: Rendra Purnama/Republika
Koran Ahad

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Anggi Nugraha

Koswara menatap lekat tulisan itu. Sebuah puisi berpigura, tampak semakin lusuh dimakan usia. Istri juga keturunannya sering bertanya ihwal puisi tersebut. “Mengapa harus puisi? Mengapa tidak lukisan saja, Bah?” tanya anak perempuannya, dulu.

Seperti biasa, ia hanya tersenyum bila mendapati pertanyaan seperti itu. Alih-alih berpanjang lebar menjelaskan layaknya dosen sastra, ia hanya berkata, “Puisi kan bahasa jiwa. Ya, Abah mah suka aja.”

Dan pagi itu adalah hari Ahad. Koswara sedang menanti tukang koran langganannya datang. Sembari menunggu, ia membaca dalam hati puisi yang telah ia pajang selama tiga puluh tahun di dinding rumahnya itu.

Sungai Yangtze

tinggal di tepi Sungai Yangtze, di dekat sumbernya

Sementara kau tinggal lebih jauh di tepiannya juga

Kau dan aku minum air dari aliran yang sama

Aku belum melihatmu meski setiap hari aku memimpikanmu.

Bilakah air sungai ini berhenti mengalir?

Bilakah aku tak mencintaimu sebagaimana sekarang?

Aku hanya berharap dua hati kita berdenyut menjadi satu

Dan kau tak akan kecewa terhadap cintaku padamu.

Puisi Dinasti Tang itu sungguh memesona. Bagi Koswara, puisi itu sangat berarti. Puisi itu selalu mengingatkannya pada seseorang. Dialah sosok yang pernah ada dalam hidupnya dulu, sosok yang juga mengantarkan ia menjadi seperti sekarang ini.

Di luar, matahari perlahan meninggi. Namun tukang koran belum juga datang. Hari Ahad memang spesial bagi Koswara. Sedari dulu, bila Ahad tiba, ia belum mau sarapan sebelum membaca beberapa cerita pendek juga puisi yang menghiasi kolom-kolom sastra di beberapa harian media cetak, baik lokal maupun nasional.

Koswara memang pembaca karya sastra. Bahkan lebih dari itu, ia dikenal baik sebagai seorang sastrawan di Kota Bandung. Kota di mana ia lahir, besar, dan juga menghabiskan masa tuanya itu.

Tapi, ihwal puisi Sungai Yangtze, hanya Koswara sendirilah yang tahu kisahnya. Sampai kapan pun ia bertekad menyimpan erat kenangannya itu. Maka, ritual minum teh hijau sembari memandangi tulisan itu, seiring waktu tak lagi menjadi hal yang aneh bagi istri, anak, juga cucu-cucunya.

Seperti di pagi itu, entah sudah yang ke berapa ribu kali ia teringat, untuk akhirnya kembali mencari jawab atas kalimat terakhir yang pernah diucapkan Li padanya.

Dulu, saat mereka berdua sedang menyusuri Jalan Braga, Li sempat berucap pada Koswara.

“Sastra itu mempertemukan. Ia selalu tahu kehendak hati. Bukankah hati dicipta untuk membaca hati yang lain?” tanyanya malam itu pada Koswara. Koswara hanya diam.

“Dan, sastralah jembatannya.” Li pun menutup pembicaraan malam itu.

Tahun itu 1963. Tahun terakhir sepasang muda-mudi beda etnis itu bertatap mata. Sebelum akhirnya, di bulan Mei di tahun yang sama, sebuah konflik rasial terjadi hebat di Bandung. Toko, rumah, dan aset milik etnis Cina dirusak massa.

Sedari kejadian itu, Li dan keluarganya menghilang. Tak tahu ke mana. Kepergian Li sungguh meninggalkan lara yang tak tertanggungkan bagi Koswara.

Li, sebagaimana arti dari nama itu, adalah orang yang pintar menulis atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra dan seni. Tak aneh bagi Koswara dahulu, kala mendapati Li membaca puisi “Sungai Yangtze” itu di hadapannya, serasa Koswara benar-benar sedang berada di sana. Di Sungai Yangtze itu. Dahulu, Koswara pernah bertanya pada Li tentang puisi itu.

“Mengapa kau begitu suka puisi itu?” Li seperti mafhum. Ia yakin, cepat atau lambat, pasti terlontar pertanyaan itu dari mulut Koswara.

“Itu puisi kesukaan Pearl S. Buck,” jawab Li.

Koswara bingung. Kala itu, ia memang tak tahu menahu soal sastra. Lantas, ia pun kembali bertanya.

“Siapa dia?”

“Ia perempuan Amerika pertama yang meraih Nobel Sastra.”

“Lantas, apa hubungannya dengan puisi Dinasti Tang itu?” tanya Koswara dengan saksama.

Li pun tersenyum. Bibir tipisnya merekah. Alis bulan sabitnya sedikit terangkat oleh kernyitan dahi yang putih itu, untuk akhirnya kembali ia coba jelaskan.

“Pearl S. Buck menghabiskan banyak waktunya di Cina. Ia banyak menulis tentang Cina. Terlebih masalah kehidupan petani di Cina. Bahkan, karena kecintaannya pada Cina, ia merasa sudah menjadi orang Cina. Namun, ia menentang komunisme-nya Mao Tse-Tung. Karenanya, setelah kembali menetap di Amerika, ia tak lagi diperkenankan masuk ke Cina. Bahkan, pada saat hendak mengunjungi makam ibunya di Cina sekalipun, ia ditolak oleh pemerintahan Mao kala itu.”

“Sungguh?” Koswara tampak serius.

“Hm…hm,” Li mengangguk.

Seiring waktu, Koswara paham mengapa Li begitu menyukai sosok Pearl S. Buck. Karena, pada saat itu, Li begitu berharap orang-orang di Bandung bisa sepertinya. Seperti Pearl S. Buck yang meski bukan orang Cina, namun begitu mencintai Cina.

Seperti yang telah dikemas oleh sejarah bahwa kerusuhan rasial, khususnya terhadap etnis Cina, sangat rentan terjadi kala itu di Indonesia. Dahulu, dalam doa-doanya, Li selalu bertanya pada Tuhannya, serendah itukah Tuhan menciptakan warna kulit berbeda-beda hanya untuk saling menghina? Senista itukah Tuhan mencipta kaum yang berbagai-bagai hanya untuk saling membenci?

Namun pada kenyataannya,waktu itu sudahlah usai. Meski demikian, kerinduan Koswara akan Li tak pernah padam. Entah harus seperti apa, atau bagaimana, ia hanya ingin Li tahu, bahwa kini Koswara adalah seorang sastrawan. Seorang penulis yang sudah banyak menelurkan karya.

Bagi Koswara, Li sangat berpengaruh dalam usahanya belajar sastra. Sebagaimana Li yang pernah berkata dulu bahwa sastra adalah jembatan yang akan kembali mempertemukan keduanya. Ihwal itulah, Koswara menghabiskan banyak waktunya untuk membaca dan menulis.

Angin pagi sepoi-sepoi dari luar masuk melalui jendela. Perlahan membelai mesra tubuh Koswara yang tampak sudah mulai ringkih.

Koswara kembali menghirup teh hijaunya. Setelahnya, ia menatap lagi pada puisi “Sungai Yangtze” yang tak habis-habisnya memberikan kerinduan pada sosok Li-nya itu. Lewat pemutar mp3 di ponsel pintar miliknya, ia memutar lagu “Wan-Wan”. Sebuah lagu utama dalam opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu”.

Koswara pun kembali terbawa pada cerita Li tentang “Festival Bulan Musim Semi”, di mana sebuah rombongan sandiwara memainkan cerita “Romeo and Juliet” versi Cina.

Kisah itu bercerita tentang perlawanan sepasang kekasih yang dipaksa berpisah oleh kekuatan feodal. Mereka berdua akhirnya tak kuasa bertahan dari tekanan itu dan memilih untuk mengakhiri hidup mereka bersama dengan cara bunuh diri. Namun, di akhir cerita yang penuh tragis, kedua kekasih yang mati itu akhirnya hidup kembali. Mereka hadir dalam wujud yang berbeda. Keduanya bereinkarnasi menjadi sepasang kupu-kupu yang indah. Mereka kembali bersatu dan hidup bahagia selamanya. Tak ayal, seraya mengepakkan sayapnya, kedua kekasih itu menari dan bernyanyi:

Mimpi menyerbuku

Aku berkelana dan akhirnya tiba di tempatmu

Kita duduk di beranda

Dan kulagukan udara nan manis tetapi tua

Lantas kuterjaga

Tanpa ditemani siapa-siapa

Rembulan bersinar

Menerangi kuntum-kuntum bunga yang telah gugur

Membuatku merasa kau telah pergi dan tiada lagi di dunia

Koswara sangat menyukai kisah itu. Bahkan, setelah masa yang lalu itu sudah sangat jauh tertinggal, kini Koswara paham bahwa kisah tersebut sudah ada sebelum nama Shakespeare tersohor.

Di universitas di mana Koswara mengajar kini, ia sering mengadakan pertunjukan opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” itu. Tak hanya dirinya, para mahasiswanya pun sangat menyukai cerita klasik tersebut.

Seperti itulah Koswara menjalani hidupnya. Begitu banyak Li berpengaruh, seperti itu pulalah Koswara merasa bahwa Li masih ada, meski tak tahu di mana rimbanya. Puisi “Sungai Yangtze” juga kisah opera “Sepasang Kekasih Kupu-Kupu” adalah sedikit dari banyaknya kenangan yang menjadikannya kini hidup dengan bersastra. Sebuah dunia yang ia tak pernah ada di dalamnya dulu, sebelum akhirnya ia mengenal Li dan jatuh cinta padanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement