Rabu 27 Feb 2019 05:01 WIB

Di Mana Inspirasi dan Estetika Sastra Melayu?

Karya mereka menjadi teladan dan dijadikan sumber ilham bagi penulis nusantara.

Serat Anabiya' Jawa
Foto:
hamzah fansuri

Karya-karya  penulis  Melayu  klasik,  yang  dihasilkan sejak akhir abad ke-16 sampai menjelang akhir abad ke-19, amat berlimpah dan aneka ragam jenis dan coraknya. Sesuai  jenisnya karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

(1)  Hikayat Nabi   Muhammad   s.a.w.; (2) Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah; (3) Hikayat Para Sahabat Nabi; (4) Hikayat  Orang-orang Saleh dan Suci; (5) Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam; (6) Karangan bercorak Tasawuf; (7) Karangan bercorak  kesejarahan; (8)  Sastra  Adab; (9) Cerita Berbingkai, termasuk kisah binatang; (10)  Syair  Rampai; (11)  Cerita Jenaka; (12) Pelipur lara dan lain-lain.

Masing-masing jenis dari hikayat ini mempunyai ciri dan fungsi tersendiri, dan sumber penulisannya juga berbeda-beda.  Hikayat Nabi Muhammad s.a.w  misalnya ditulis berdasarkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad dari sumber-sumber paling awal, termasuk kesaksian kerabat dekat dan sahaba-sahabat Nabi yang mengikuti perjuangan beliau menyebarkan agama Islam. Khususnya seperti yang dikumpulkan oleh al-Tabari pada abad ke-8 M dalam kitabnya Sirah Nabi Muhammad. Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah misalnya ditulis berdasarkan sumber-sumber al-Qur’an, dilengkapi dengan kisah-kisah yang telah lama dikenal bangsa Arab dan Ibrani melalui Taurat, Zabur dan Injil. Kisah berhubungan dengan asal-usul kerohanian Nabi Muhammad yang diramu berdasarkan konsep kosmologi sufi ialah Hikayat Kejadian Nur Muhamad.

Braginsky (1993) mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam  menjadi tiga berdasar peringkat wilayah atau lapisan  garapannya: Pertama,  karya-karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika  Batin; kedua, karya-karya    yang menggarap  lapis  Faedah dan estetika Hikmah; Ketiga,   karya-karya  yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir.

Karya-karya  yang  menggarap  sfera   kesempurnaan (kamal),  menggambarkan  upaya  manusia  mencapai  pengetahuan tertinggi   (ma`rifat),  jalan  kerohanian   (suluk),   bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang  penempuh  jalan ruhani (salik) dan  lain  sebagainya.

Karya-karya  yang menggarap era kesempurnaan jiwa  ini juga menggambarkan cita-cita  manusia  mencapai pribadi insan   kamil meneladani  Nabi  Muhammad SAW,  kerinduan seorang  `asyik (pencinta)  kepada  Sang Kekasih (mahbub),  yaitu  Yang  Satu. Dalam  karya  kategori ini dipaparkan juga  jalan  pengenalan diri,  yang  amat penting bagi seorang Muslim  untuk  mengenal perannya  sebagai khalifah Tuhan di atas dunia  dan  sekaligus hamba-Nya.  Termasuk  dalam  kategori  ini  ialah  syair-syair Tasawuf yang sering dikenal sebagai Syair Tauhid dan Makrifat. 

Selain   ditulis  dalam  bentuk  puisi   didaktis   dan imaginatif simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan.  Karya-karya Hamzah Fansuri  dan  murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan  juga beberapa  karangan Abdul Rauf Singkel dan  lain-lain  termasuk dalam  kategori ini. Kecuali karya tiga penulis  ini  terdapat karya  ahli  tasawuf  lain yang namanya  belum  diketahui.  Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda),  Ikat-ikatan  Bahr al-Nisa' (Lautan Perempuan), Syair Dagang  (yang agaknya  ditulis  penyair asal  Minangkabau),  Hikayat  Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.

Karya-karya yang mengungkap sfera faedah.  Termasuk Hikayat  Nabi  dan para sahabatnya,  Hikayat  Pahlawan  Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat  dan  menyempurnakan  akal  manusia,  yaitu  sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja)  karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja)  karya Nuruddin  Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim  (anonim).  Karya-karya  ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan  bagi  raja-raja,  pegawai  pemerintahan  dan  pemimpin  masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai   keadilan dan kesejahteraan  sosial, dan dengan demikian  agama  berkembang. Sedangkan   karya   bercorak  sejarah   menggambarkan    jatuh bangunnya  raja-raja  dan dinasti, sebab-sebab  kejatuhan  dan kebangunannya,  peristiwa-peristiwa penting yang  mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah.

Karya  bercorak sejarah ada yang ditulis  dalam  bentuk syair  dan  ada yang ditulis dalam bentuk  prosa.  Bustan  al-Salatin  merupakan karya bercorak sejarah  dan  adab.  Karya bercorak  sejarah lain yang terkenal ialah  Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau  Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah  disebut,  karya  kesejarahan lain  yang  masyhur  ialah Hikayat  Pasai,  Hikayat Merong Mahawangsa,  Hikayat  Banjar, Misa  Melayu,  Hikayat  Johor,  Hikayat  Maulana   Hasanuddin, Hikayat  Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu  dan Bugis   Salasilah  Kutai, Hikayat Bengkulu dan  lain-lain. 

Di Jawa  genre  serupa disebut babad seperti  Babad  Tanah  Jawi, Babad Pasundan, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Besuki dan lain-lain. Di Minangkabau  karya kesejarahan disebut tambo. Di  antara  yang masyhur ialah Tambo Minangkabau.

Karya bercorak sejarah yang ditulis  dalam bentuk syair di  antaranya  ialah  Syair  Perang  Mengkasar,  Syair  Sultan Maulana,  Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal  Abidin,  Syair Perang  Siak,  Syair Pangeran Syarif Hasyim,  Syair  Singapura Terbakar,  Syair  Siti  Zubaidah  Perang  dengan  Cina,  Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut  Ali Ahmad  (1991)  karya bercorak sejarah yang  disebut  salasilah memiliki  unit  cerita  yang  terdiri  dari  kisah-kisah   dan legenda,  namun  tidak  seperti  hikayat  yang  diikat oleh perkembangan  tokohnya  yang  stereotype,  karya   kesejarahan diikat  oleh perkembangan kejadian dan hikmah  yang  dikandung dalam kejadian  tersebut.

Krisis yang  terjadi  dalam  sebuah negara,  yang  membuat jatuhnya sebuah  dinasti  atau  seorang raja,  selalu  dicari sebabnya pada krisis moral  dan  akhlaq, serta  penyimpangannya terhadap ajaran Islam,  misalnya  tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam  arti yang sebenar-benarnya.

Menurut Ali Ahmad lagi, munculnya karya kesejarahan dan hikayat  yang  bernaeka ragam itu, kian menjadikan  kesusastraan Melayu tidak lagi  streotaip, tetapi terbuka kepada  berbagai-bagai kemungkinan. Ini menjadikan nilainya meningkat, dan pada saat  yang  sama  memperkuat  dasar  keberadaannya,  sebab  ia menumpukan maknanya pada nilai Tauhid dan konsekwensi moralnya bagi mereka yang menghayati keluasan makna Tauhid.

Juga karya-karya itu, serta penyebarannya yang luas, menggambarkan latar belakang tempat dan kebudayaan Melayu dengan jelasnya di  mana Islam  telah  dihayati pada peringkat  fikrah  dan  amalannya,  dalam arti berkaitan dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan berkaitan  pula  dengan  soal  hubungan  manusia   dengan sesamanya.  Dengan  demikian estetika yang  ditonjolkan  ialah estetika berkenaan hikmah atau Estetika Hikmah.

Karya-karya  yang menggarap sfera  hiburan  dan  estetika zahir  (luaran),  termasuk ke dalam jenis  ini  ialah  Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan  kesan-kesan kejiwaan  yang  kacau disebabkan kobaran  hawa  nafsu,  sebuah sarana   penghayatan  indrawi  atau  sensual   manusia   dalam menanggapi kehidupan.  Kesan-kesan  kejiwaan  yang kacau  harus  diserasikan dengan  nilai  moral dan ajaran agama, dan upaya ke  arah  itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan  dalam  kategori ini termasuk  hikayat  dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui  kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman  jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam mitsal atau alam imaginal.

Alam  Mitsal  mempunyai tempat  tersendiri  dalam  teori sastra  dan estetika Islam. Ungkapan-ungkapan dalam puisi atau karangan sastra adalah perwujudan alam mitsal, hasil pemikiran dan imaginasi pengarang yang dijelmakan dalamm ungkapan estetik sastra. Jadi karya sastra adalah kias atau perumpamaan. Misalnya syair-syair sufi, ia tidak lain adalah kias terhadap perjalanan rohani ahli suluk dari  alam  jasmani menuju alam batin.

Tidak jarang kisah yang tergolong pelipur lara seperti Hikayat Syekh Mardan dan Hikayat Inderaputra.digubah menjadi alegori sufi, sehingga fungsi hikayat ini berubah menjadi sarana renungan masalah keruhanian.

Sering dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya indvidualitas baru dimulai oleh Pujangga Baru dan Chairil Anwar pada abad ke-20. Ini tidak benar sebab Hamzah Fansuri  dan  murid-muridnya telah  mempelopori kecenderungan ini lebih kurang tiga abad sebelum munculnya Pujangga Baru Begitu pula gagasan tentang kemerdekaan penyair  dalam merombak   bahasa  demi  pengucapan  estetik,   yang   disebut  licensia   poetica,  secara  kreatif  dan  luar  biasa   telah diterapkan lama dalam sastra Nusantara. Pada zaman Hindu ia telah dilakukan oleh Mpu Kanwa, Mpu Tanakung dan Mpu Prapanca. Tetapi yang lebih dahsyat dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan murid-muirdnya di Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M.

Kecuali  itu  karya para penyair  Sumatra  itu  membuka babakan baru sejarah kepenyairan kita dengan puisi-puisi, yang menyajikan  pencerahan  profetik. Karya-karya  mereka  otentik sebab  didasarkan  atas  pengalaman dan  pengetahuan  pribadi. Pengalaman  dan  pengetahuan tersebut  dicapai  melalui  upaya intelektual  dan  spiritual yang disadari.  Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan  Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak  Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang melalui  karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu memasuki babakan  yang universal dan kosmopolitan dalam semangat penciptaan.

Saya  ingin  mengutip pernyataan Teeuw (1992):  "Mungkin pada penglihatan pertama  pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab berlebih-lebihan dan mengganggu. Pembaca yang terbiasa menganggap puisi dapat dinikmati hanya dengan perasaan semata-mata, tanpa perlu berpikir, akan kecewa membaca puisi Hamzah Fansuri.  Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan yang luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab Persia, termasuk pengetahuan tentang Islam dan tasawufnya.

Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetuan yang diperlukan untuk membaca puisi Hamzah Fansuri bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik: diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinal, begitu juga tamsil dan imagerinya. Juga ada kreativitas  bunyi..."

Bagaimana Hamzah Fansuri menekankan pada pentingnya individualitas tampak dalam bait-bait penutup dari syair-syairnya, seperti contoh berikut ini:

 

                    Hamzah miskin hina dan karam

                    Bermain mata dengan Rabb al-`Alam

                    Selamanya sangat terlalu dalam

                    Seperti mayat sudah tertanam

 

                    Hamzah sesat di dalam hutan

                    Pergi uzlat berbulan-bulan

                    Akan kiblatnya picik dan jawadan

                     Itulah lambat mendapat Tuhan

 

                     Hamzah miskin orang `uryani

                     Seperti Ismail jadi qurbani

                     Bukannya `Ajami lagi Arabi

                       Nentiasa wasil dengan Yang Baqi

 

Seperti halnya penulis-penulis Jawa Kuna memperkenalkan bentuk-bentuk teori sastra dan estetika tersendiri, demikian pula dengan penulis Melayu Islam. Wawasan estetika dan teori sastra  yang diperkenalkan itu adalah hasil penafsiran terhadap teori sastra dan  Arab-Persia, khususnya dari Ibn Sina, al-Jurjani, Imam al-Ghazali., Ibn `Arabi, `Attar dan Rumi. Teori Jurjani yang diambil antara lain ialah pandangannya bahwa karangan sastra/puisi merupakan  bangunan  struktural yang  kompleks  dari  pengalaman kejiwaan   dan  spiritual  yang  diungkapkan  melalui   bahasa figuratif  (majaz) yang bersifat simbolik. Mutu karangan tergantung pada cara mengolah imajinasi (takhyil) dan kualitas  pengalaman spiritual atau kemanusiaan yang disampaikannya (Abu Deeb 1988; Ismail Dehoyat 1994).

Dalam sistem estetika Melayu yang bersumber dari pandangan tokoh-tokoh tersebut,  karya  seni  dipandang sebagai sarana transendensi, yaitu  tangga naik menuju hakikat tertinggi. Penulis menyajikan  obyek-obyek visual  dalam karyanya sebagai citraan (tasybih) dan simbol (mitsal) untuk  membawa pembaca mencapai pengalaman transendental seperti `isyq (cinta ilahi). Mengenai  gambaran  dunia para penulis  Melayu  melihat alam  semesta  sebagai kitab agung yang sangat  indah,  sebuah karya  sastra agung.  Sang Khalik menjelmakan dunia  ini  dari Perbendaharaan   Ilmu-Nya  yang  tersembunyi  (kanz   makhfiy) didorong oleh Cinta. Menurut mereka lagi, dunia ditulis dengan kalam  Tuhan  pada  Lembaran  Terpelihara  (lawh  al-mahfudz),   Sebagaimana dunia,  pribadi  manusia  juga merupakan  sebuah  kitab agung,  sebuah  karya sastra.  Pada manusia  keseluruhan hikmah alam semesta direkam dengan diringkas. Hikmah-hikmah tersebut  hadir  sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda-Nya yang menakjubkan.  Karena itu  mengenal hakekat diri sangat penting bagi  manusia  (Abdul Hadi W. M. 2001).

Sesuai  dengan  gambaran tersebut  karya  sastra  mesti dibentuk  menyerupai pribadi manusia, yang  secara  struktural merupakan  kesatuan bangunan kejiwaan yang kompleks.  Ungkapan zahir atau bentuk luar (surah) karya sastra, sebagaimana tubuh beserta gerak dan isyarat yang disampaikan anggota-anggotanya, hendaknya diusahakan dapat memberi sugesti atau isyarat tentang kehadiran  rahasia  Tuhan dan keberadaan  gaib-Nya  di  antara ciptaan-ciptaan-Nya. Demikianlah  gejala-gejala  alam,   peristiwa-peristiwa sosial  dan  sejarah, keindahan obyek yang  berbagai-bagai  di dunia, merupakan manifestasi dari Cinta Tuhan dan Pengetahuan-Nya yang tersembunyi itu.  Semua itu dihadirkan secara estetik untuk memberi efek tertentu kepada jiwa.

Cara  meresapi dan memahami hakekat penciptaan,  selain dengan jalan akal dan inderawi, ialah melalui peresapan  kalbu atau  pemahaman  intuitif (`isyq).  Perkataan  seperti  berahi, rindu,  mabuk,  takjub,  lena,  leka,  gharib,  asyik,  karib tamasya dan lain-lain merupakan tamsil dan citraan-citraan kunci dalam estetika Melayu. Tamsil dan citraan-citraan kunci itu dapat kita jumpai dalam hikayat-hikayat Melayu, termasuk misalnya dalam penggambaran taman ghairah di istana Aceh abad ke-17 M oleh Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin. Begitu pengaruhnya masih dapat kita kesan dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sutardji Calzoum Bachri.

Menurut  Ibn  Sina dan  al-Jurjani, citraan-citraaan puitik puisi di dalam keseluruhan bangunan sebuah sajak, dicipta untuk  memberi efek  kejiwaan  dan moral tertentu  kepada  pembacanya,  bukan semata-mata  efek  inderawi atau sosial. Penyair-penyair  sufi lebih jauh menggunakan citraan dalam puisi dengan maksud memberi efek kerohanian, khususnya kerinduan kepada Tuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement