Rabu 13 Jun 2012 17:50 WIB

Saatnya Menggunakan Strategi Menyerang?

Rep: abdullah sammy/ Red: M Irwan Ariefyanto
Gelandang Spanyol, Xavi Hernandez dan pemain Italia Sebastian Giovinco berebut bola pada laga pembuka Grup C di Piala Eropa 2012 antara Italia dan Spanyol di Gdansk, Polandia, Ahad (10/6).
Foto: AP Photo/Michael Sohn
Gelandang Spanyol, Xavi Hernandez dan pemain Italia Sebastian Giovinco berebut bola pada laga pembuka Grup C di Piala Eropa 2012 antara Italia dan Spanyol di Gdansk, Polandia, Ahad (10/6).

REPUBLIKA.CO.ID,Puncak dari sebuah peradaban adalah fase awal menuju kehancuran peradaban itu sendiri. Salah satu rujukan pandangan tersebut adalah kehancuran Jerman dan Jepang usai militernya mencapai puncak kejayaan pada Perang Dunia II. Semua hal itu jadi bukti bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Dan, tanpa melakukan perubahan, sebuah peradaban paling agung sekalipun akan hancur tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Allah pun berfirman, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya,” (Alquran, surat Ar-Ra’du ayat 11) Ayat tersebut jadi acuan bahwa keberuntungan sekalipun bisa diciptakan ketika seseorang melakukan usaha perubahan. Klub Inggris Chelsea membuktikannya di lapangan sepak bola Liga Champions musim ini. Dengan keberanian untuk meninggalkan gaya permainan menyerang, Chelsea memutus penantian juara Eropa selama 107 tahun.

Kemenangan Chelsea pun jadi peringatan bagi Barcelona dan Spanyol, pioner gaya tiki-taka, bahwa lonceng kehancuran itu semakin dekat. Setelah Barcelona tiga musim tanpa lawan dan Spanyol yang tanpa tertandingi jadi Juara Eropa 2008, juara Dunia 2010, dan juara Piala Eropa junior 2011, fase menuju keruntuhan peradaban tiki-taka sangat mungkin terjadi.

Pasalnya, antitesis dari tiki-taka mulai bermunculan. Kesuksesan gaya bertahan Chelsea 2011 dan Inter Milan 2010 jadi rujukan. Lonceng peringatan bagi tiki-taka pun semakin keras berbunyi di Kota Gdansk, Polandia.

Timnas Spanyol dengan tiki-takanya nyaris tidak berdaya ketika meladeni gaya revolusioner Italia yang bermain menyerang di partai pembuka Grup C Piala Eropa 2012. Padahal, Italia selama ini dikenal sebagai moyangnya catenacio (gaya permainan bertahan).

Di laga melawan Spanyol, pelatih Italia, Cesare Prandelli, mencontoh tesis permainan yang diciptakan Antonio Conte, pelatih Juventus. Gaya bermain 3- 5-2 yang membuat Juventus juara Seri A Liga Italia tanpa terkalahkan terbukti cocok bagi Azzurri. Hasilnya, Italia tampil atraktif dan mampu menandingi tiki-taka Spanyol di lini tengah.

Banyak yang beranggapan, Spanyol pada laga melawan Italia telah meninggalkan pakem 4-2-3-1 yang sukses membawa tiki-taka menjadi juara dunia. Namun, jika menilik lebih jauh peran Cesc Fabregas di laga melawan Italia, sejatinya tidak ada perubahan signifikan gaya Spanyol 2012 dibanding di Afrika Selatan 2010.

Fabregas tidak ubahnya memainkan peran David Villa yang mampu menjadi pemain paling akhir untuk mengalirkan tiki-taka hingga ke mulut gawang lawan. Dengan gaya yang relatif sama sepanjang dua tahun terakhir, tiki-taka terbukti kewalahan menghadapi revolusi menyerang Azzurri.

Dengan kenyataan itu, Spanyol patut waspada terhadap peluangnya pada Piala Eropa 2012 ini. Karena sudah jadi kepastian bahwa 15 peserta lain telah mempelajari apa antitesis tiki-taka, layaknya yang dilakukan Italia di laga pertama.

Spanyol bisa berkaca pada keruntuhan sejumlah gaya permainan sepak bola akibat adanya revolusi taktik lawan. Catenacio contohnya tergilas pada akhir 1980-an oleh reinkarnasi total football Belanda. Pun halnya total football yang tidak berdaya ketika membentur fisik prima Skandinavia Denmark. Atau, staying powerJerman yang tumbang oleh era trequartista Zidane. Akankah tiki-taka mengikuti jejak serupa pada Piala Eropa kali ini? 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement