Selasa 06 Dec 2016 17:17 WIB

Supremasi Etika Profesi demi Mencapai Profesi yang Beretika

Syaiful Bakhri, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta
Foto:

Pada hakikatnya, sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk mempertahankan hak dengan perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk melindungi kepentingan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan kata lain aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau keluarganya merasa kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.

Mengingat hakikat hubungan antara dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik sebagaimana diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada umumnya termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang harus diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas keahliannya untuk menyembuhkan pasien.

Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh dokter itu didasarkan pada keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan yang dilakukan oleh dokter itu merupakan tindakan yang sah. Wanprestasi atau ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang ditentukan.

Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya mengatur hubungan antara pasien dengan dokter. Dari sini dapat dilihat bahwa hubungan antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis.

Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum.

Dalam praktik, sehubungan dengan tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul masalah karena sulitnya menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis dalam hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan medis. Kesulitan disini timbul karena etika merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung jawab.

Dalam etika dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa ia melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat dipengaruhi oleh pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.

Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan.

Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement