Rabu 05 Oct 2016 10:11 WIB

Ke Mana Arah Studi Islam di Perguruan Tinggi Muhammadiyah?

Sudarnoto Abdul Hakim.
Foto: UMJ
Sudarnoto Abdul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Dosen tetap UIN Jakarta, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat dan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah.

Belum terlalu lama ini Majelis Dikti litbang PP Muhammadiyah menyelenggarakan sebuah pertemuan nasional. Pertemuan ini menghadirkan dekan-dekan Fakultas Agama Islam (FAI) dan Kaprodi-kaprodi FAI yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia. Ada 53 FAI dari 177 PTM hadir di UMJ untuk membahas beberapa hal penting di acara ini. Hal praktis akademik yang menjadi perhatian antara lain ialah pembentukan asosiasi profesi dalam rangka mengikuti irama akreditasi Prodi. Yang terkait dengan kurikulum tentu saja juga menjadi perhatian.

Berikut beberapa catatan lain yang menurut hemat penulis juga penting menjadi pertimbangan terkait dengan pengembangan studi Islam terutama di FAI PTM.

Pertama, Secara umum Studi Islam (Islamic Studies atau Dirosah Islamiyah) sebetulnya sudah lama tumbuh baik di lingkungan tradisi  Islam dan akademik  di pesantren, madrasah, sekolah, perguruan tinggi Islam maupun di lingkungan tradisi akademik Barat non-Muslim (di perguruan tinggi perguruan tinggi dan pusat-pusat riset). Dengan cirinya masing-masing, dua tradisi akademik Islam dan Barat ini menyelenggarakan dan mengembangkan studi-studi Islam.

Dalam waktu yang panjang, studi Islam di kalangan dunia Islam lebih didedikasikan untuk keperluan memenuhi kebutuhan praktis kehidupan beragama. Islam sebagai agama dan doktrin yang menjadi titik tekan utama studi Islam. Pendekatan yang lebih kuat ialah normatif doktrinal dan karena itu semangat dakwah ideologis menjaga dan memberlangsungkan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sangat kuat. Sementara di lingkungan tradisi akademik Barat, Islam dipandang sebagai budaya umat Islam atau sebagai fenomena empirik historis.

Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam tradisi  studi Islam cenderung empirik. Islam merupakan bangunan kebudayaan dan masyatakat yang mengandung keberbagaian, keanekaan, keragaman, Islam adalah Mozaik. Untuk memahami seluruh realitas umat ini membutuhkan alat keilmuan (scientific tools) yang tidak normatif doktrinal, akan tetapi empirik dan multi approaches.

Terkait dengan ini orientalisme berkembang dalam waktu yang sangat panjang dan karena itu kita dengan mudah mendapatkan banyak sarjana atau ilmuan Barat non Muslim yang menekuni Islam dalam berbagai bidang yang sangat luas, karya-karya mereka tersebar di banyak kampus besar di luar negeri. Disamping itu, dengan mudah juga kita akan dapatkan pusat-pusat Islamic Studies, dengan nama yang berbeda-beda di kampus-kampus ternama tingkat dunia baik itu di Amerika, Amerika Utara, Eropa dan bahkan Australia.

Tradisi akademik Barat, dengan berbagai kontroversinya,  telah melahirkan banyak ilmuan dengan karya-karya keislaman yang ekstensif dan berpengaruh hingga hari ini. Mereka tahu banyak tentang Islam dan Umat Islam untuk berbagai tujuan.

Karena itu studi Islam di lingkungan PTM dituntut untuk bisa mempertemukan dan mendialogkan secara dialektik dua model atau pendekatan tersebut. Bahkan tak berlebihan untuk menegaskan bahwa Studi Islam di PTM seharusnya jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pusat-pusat studi Islam di Barat. FAI PTM seharusnya menjadi pusat studi Islam yang berwibawa secara kelembagaan dan akademik karena orientasi yang besar dan melahirkan orang-orang yang hebat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement