Selasa 09 Oct 2018 19:28 WIB

Anak-Anak Korban Gempa Ingin Sekolah dari Kayu

Anak-anak korban gempa khawatir jika belajar di ruang kelas yang terbuat dari semen.

Sejumlah anak nampak bermain di sekitar tempat pengungsian Duyu, Palu Barat, kecamatan Tatanga, Selasa (9/10).
Foto: Darmawan / Republika
Sejumlah anak nampak bermain di sekitar tempat pengungsian Duyu, Palu Barat, kecamatan Tatanga, Selasa (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Anak-anak korban gempa dan likuifaksi di Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), mengaku masih takut dengan goncangan. Karena itu, mereka meminta agar sekolahnya dibangun lagi dengan kayu.

"Iya mau sekolah lagi, tetapi kalau bisa sekolahnya kayu saja," kata Owen Michael siswa kelas 5 SD BK Jono Oge kepada Antara saat berada di pengungsian Desa Pombewe, Kabupaten Sigi, Sulteng, Selasa (9/10).

Owen mengaku masih takut dengan gempa-gempa susulan yang terjadi. Ia merasa khawatir jika harus belajar di ruang kelas yang terbuat dari dinding semen.

Saat kejadian gempa dan likuifaksi, ia mengaku baru saja hendak pulang ke rumah selepas bermain bola di lapangan bersama teman-temannya. Anak laki-laki usia 11 tahun ini berlari kencang tanpa alas kaki menuju rumah ketika goncangan gempa terasa semakin kuat. Ia mengaku kembali berlari lagi menuju dataran lebih tinggi di bukit-bukit sekitar Pombewe sambil menangis saat likuifaksi mulai terjadi.

Jois Priscila (10), siswi kelas 6 SD BK Jono Oge juga mengaku merasa takut jika harus kembali belajar di sekolah berdinding tembok. Ia juga meminta supaya sekolah yang dibangun lagi nanti terbuat dari kayu, dengan asumsi akan lebih aman buat mereka.

"Kalau pakai tembok itu kalau gempa bisa roboh. Nanti kita tertimpa," kata Jois.

Hingga saat ini, puluhan anak dari Desa Jono Oge yang terdampak gempa dan likuifaksi dan mengungsi di Desa Pombewe belum kembali ke sekolah. Sebab, sekolah mereka rata-rata roboh oleh gempa.

photo
Warga berdiri di jalan batas kampung yang hilang terseret liquifaksi atau pencairan tanah akibat gempa bumi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (8/10). (Antara)

Tenda yang menjadi kelas darurat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) baru didirikan pada Senin (8/10) siang. Pada hari yang sama mereka mengikuti penyembuhan trauma (trauma healing) dari siang hingga pukul 18.00 WITA.

Aktivitas yang dilakukan saat itu, menurut Glen Hizkiawengku (8), siswa kelas 3 SD Inpres Jono Oge yakni bernyanyi dan menggambar.

Di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, belum tampak kegiatan belajar dan mengajar. Di Desa Lolu misalkan, terdapat dua sekolah dasar negeri. Namun kondisinya ratah dengan tanah. 

Tidak ada tenda atau alternatif lain sebagai solusi yang disediakan oleh pemerintah agar siswa dua sekolah tersebut dapat bersekolah. Desa Lolu, menjadi salah satu desa yang parah saat gempa mengguncang Kabupaten Sigi, pada 28 September 2018. 

Desa Lolu bertetangga dengam Desa Jono Oge yang dilanda gempa dan likuifaksi. Kegiatan belajar dan mengajar juga belum aktif di Desa Parovo, Pombewe dan Loru, Kecamatan Biromaru. 

Pemerintah perlu menyediakan tenda-tenda untuk alternatif kegiatan belajar mengajar bagi generasi muda Desa Lolu, Desa Parovo, Desa Mpanau Biromaru, dan Desa Pombewe.

photo
Sejumlah anak nampak bermain di sekitar tempat pengungsian Duyu, Palu Barat, kecamatan Tatanga, Selasa (9/10). (Republika/Darmawan)

Di Kota Palu, kegiatan belajar mengajar di sejumlah sekolah semua jenjang pendidikan juga belum berjalan seperti biasa pascagempa mengguncang pada 28 September 2018. Pantauan di Kecamatan Palu Timur dan Palu Selatan, Kota Palu, Selasa, sejumlah sekolah masih sepi pascagempa. 

Tidak ada kegiatan belajar dan mengajar. Sebagian sekolah masih melakukan pembersihan lingkungan. Tidak ada tenda-tenda sebagai alternatif untuk kegiatan belajar dan mengajar di luar kelas.

Di Kelurahan Petobo, siswa-siswi masih berada di lokasi pengungsian. Terdapat satu tenda darurat milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi belum efektig digunakan.

Satu tenda alternatif milik Kemendikbud itu dibangun di area dekat perbatasan antara Desa Ngatabaru dan Kelurahan Petobo. Sementara warga Petobo mengungsi di Desa Ngatabaru, Pombewe, Desa Loru, Dusun Ranoropa Desa Loru, Desa Parovo dan Desa Mpanau.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement