Senin 27 Aug 2018 15:32 WIB

Ahli Bahasa: Penyerapan Bahasa Daerah Sangat tidak Mungkin

Selama ini, yang terjadi secara alamiah adalah penerimaan sebuah bahasa

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Sejumlah pelajar mengamati berbagai benda koleksi saat kegiatan belajar di Museum Negeri Sumut di Medan, Sumatra Utara, Rabu (21/2). Sumatra Utara salah satu daerah yang telah menerbitkan perda tentang pelestarian bahasa  daerah.
Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Sejumlah pelajar mengamati berbagai benda koleksi saat kegiatan belajar di Museum Negeri Sumut di Medan, Sumatra Utara, Rabu (21/2). Sumatra Utara salah satu daerah yang telah menerbitkan perda tentang pelestarian bahasa daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana penyerapan bahasa daerah yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy terus mendapat kritik dari beberapa linguis, salah satunya Ahli Bahasa Daerah Universitas Indonesia yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Asisi Datang. Dia menegaskan, wacana penyerapan bahasa daerah tersebut sangat tidak mungkin dilakukan.

"Wacana Mendikbud tentang adanya penyerapan bahasa lokal menjadi induk bahasa sebenarnya sebuah ide yang sangat tidak mungkin terjadi," kata Frans saat dihubungi Republika, Senin (27/8).

Frans menerangkan, selama ini, yang terjadi secara alamiah adalah penerimaan sebuah bahasa menjadi lingua franca di daerah yang sangat beragam bahasanya. Bahasa yang menjadi lingua franca tersebut bisa merupakan bahasa yang penuturnya berpengaruh, penuturnya paling banyak, menjadi pusat pendidikan, dan lain-lain.

(Baca: Mendikbud Mulai Rancang Kurikulum Mulok Bahasa Daerah)

Dia mengumpamakan, di Kabupaten Manggarai Barat NTT, dialek yang menjadi bahasa penutur lokal di sana seharusnya dialek Kempo. Tetapi karena kuatnya pengaruh ekonomi dan sosial politik dari dialek Rahong, maka di Manggarai Barat yang menjadi dialek utama adalah dialek Rahong yang berasal dari wilayah Mangggarai tengah.

"Hal itu terjadi karena pegawai yang dominan di Manggarai barat berasal dari Manggarai Tengah. Pada masa lampau, ketika belum mekar menjadi dua kabupaten, pusat pendidikan ada di wilayah pemakaian dialek Rahong. Jadi begitu misalnya," terang Frans.

Terkait banyaknya bahasa daerah di satu kabupaten seperti yang dijelaskan Mendikbud, Frans berpendapat, sejak dulu sebenarnya hal itu tidak pernah menjadi masalah. Karena berdasar pada pengalamannya, di kabupaten seperti demikian penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional semakin kuat karena mereka memerlukan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang efektif.

"Di kabupaten Alor, coba cek luasnya, ada 17 bahasa seperti yang dikatakan oleh menteri. Jadi, tidak perlu ditakutkan bahwa mereka tidak dapat saling berkomunikasi karena mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi," ungkap dia.

Frans juga tidak sependapat, jika Mendikbud menyamakan karakteristik bahasa daerah di wilayah Timur Indonesia dengan bahasa Jawa. Karena menurut dia, karakteristik bahasa di Indonesia bagian Timur sangat berbeda jauh dengan bahasa di Jawa.

Karenanya, tegas dia, wacana untuk menyerap bahasa lokal menjadi bahasa Induk, sangat tidak mungkin dilakukan. Masalahnya, bahasa apa yang dipilih, apa kriteria pemilihannya, bagaimana cara menyerapnya, wacana seperti ini hampir tidak mungkin terjadi.

Sebagai solusi, jelas dia, yang sangat mungkin dilakukan adalah memperkuat pengajaran bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa penghubung antarsuku yang berbeda bahasa tersebut.

Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, penyerapan bahasa lokal dinilai penting dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia. Karena menurut dia, ada daerah yang memiliki banyak bahasa lokal namun dengan penutur dan ruang lingkup komunikasi yang terbatas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement