Senin 27 Aug 2018 07:03 WIB

'Perguruan Tinggi Butuh Transformasi'

Kampus harus mendukung mahasiswanya dalam pembentukan identitas.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Akibat pengaruh era disrupsi, anak-anak muda Indonesia ditengarai telah kehilangan identitas. Oleh karena itu perguruan tinggi, sebagai salah satu lembaga pendidikan, membutuhkan transformasi untuk mendukung mahasiswanya dalam pembentukan identitas.

"Itu berarti kampus-kampus tidak melulu menjadi tempat kursus yang sekadar menghasilkan tenaga kerja terampil, melainkan harus ambil bagian dalam pembangunan civilized society guna mengatasi paradoks yang berpotensi terjadi," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional FKIP 2018 di Universitas Muhammadiyah Magelang akhir pekan lalu.

Menurut Rizal, langkah radikal sudah sepatutnya diambil. Seperti yang dilakukan dalam Gerakan Sekolah Menyenangkan, kata dia, dimana dibutuhkan transformasi di semua level di lembaga pendidikan untuk menciptakan ekosistem suportif di ranah pendidikan yang memanusiakan. 

"Perubahan ini harus mencakup setiap lapisan mulai dari siswa, dosen, kurikulum, dan struktur kampus itu sendiri," katanya.

Pertama, dari aspek mahasiswa. Sebagai pembelajar mereka harus memiliki pengalaman belajar yang terkhususkan sesuai dengan kebutuhan dan bukan dikontrol penuh oleh dosen.

"Harus ada ekosistem yang memungkinkan adanya support dan feedback. Secara keseluruhan, pembelajaran bukan sekadar mengajar, tetapi menginspirasi dan memancing inovasi," katanya.

Kedua, dosen tidak boleh terpaku pada materi yang sama dari tahun ke tahun. Sebagai pendidik, mereka tak seharusnya memaksakan ilmunya, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa.

"Gaya mengajar yang kuno pun harus disingkirkan dan dosen perlu jadi pemimpin guna menginspirasi siswanya untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan," ujarnya.

Ketiga, kurikulum pendidikan satu arah dan cenderung teknis juga perlu dievaluasi dan ditranformasi menjadi kurikulum yang problem based learning dan student centered learning.

"Mata kuliah yang berjibun juga perlu dipangkas, guna memberikan kebebasan mahasiswanya untuk bereksplorasi," kata Rizal.

Keempat, struktur kampus juga perlu direvolusi untuk mendukung kreativitas dan pembelajaran mandiri. Ini berarti kampus tidak berhenti pada lokasi nyata, tetapi juga beralih pada arena virtual.

"Siswa bisa bereksplorasi semakin bebas jika dialog pengetahuan tidak hanya diadakan di ruang kelas, tetapi di setiap saat, lewat layar smartphone atau personal computer," katanya mengakhiri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement