Rabu 08 Aug 2018 03:18 WIB

Guru Dinilai Rentan Dijadikan Alat Politik

FSGI mengimbau guru di seluruh Indonesia bisa menjaga netralitas dan independen.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Guru - ilustrasi
Guru - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pilpres 2019, guru termasuk profesi yang dinilai rentan dilibatkan dalam politik praktis. Karena itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengimbau agar para guru di seluruh Indonesia bisa menjaga netralitas dan bersifat independen.

Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim mengakui, dalam kontes politik nasional nanti guru berpotensi dijadikan alat politik. Terlebih, jumlah guru di seluruh Indonesia baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Non-PNS berjumlah lebih dari 3 juta guru.

“Tiga juta itu jumlah yang sangat banyak, dan tentunya akan bisa berpengaruh pada kotak suara kan,” kata Satriwan saat dihubungi Republika, Selasa (7/8).

Jika berkaca pada kontestasi Pilkada kemarin, dia mengaku, di daerah banyak laporan-laporan terkait adanya mepolitisasikan guru. Seperti mengiming-imingi dan membujuk rayu para guru dengan menjanjikan kesejahteraan bagi guru, namun syaratnya harus memilih calon tertentu.

“Karena itu penting sekali pendidikan politik bagi guru, jadi guru bisa menentukan pilihan politik dengan sadar dan pengetahuan yang banyak tentang para calon. Jadi bukan karena iming-iming itu saja,” kata dia.

Dia menyampaikan, selama ini FSGI juga terus menerus mengingatkan dan mengimbau para guru yang tergabung dalam FSGI untuk menjaga netralitas terlebih dalam proses pembelajaran. “Seperti saya, saya kebetulan mengajar mapel PKn kan, dan dalam PKn ada materi politik. Nah ini akan fatal jika guru sudah tidak netral maka dia bisa jadi malah mengampanyekan atau ‘menyinggung’ mana calon pemimpin yang pantas dipilih dan tidak,” jelas dia.

Karena itu, menurut Satriwan, orang tua siswa memiliki peran penting dalam membangun kesadaran kepada anaknya tentang politik. Khususnya, bagi siswa yang duduk di kelas XII dan memiliki hak pilih. Tentunya anak tersebut harus diberikan pemahaman politik yang cukup dari orang tua.

“Jadi nanti kalau guru yang mengajar pembahasannya sudah menyerempet ke arah ‘kampanye’ atau apa ya gitu, siswa bisa lapor dengan segera kepada orang tua atau kepala sekolah,” ungkap Satriwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement