Rabu 06 Jun 2018 16:33 WIB

Bank Dunia: Kualitas Pendidikan Indonesia Masih Rendah

Reformasi di bidang pendidikan pelaksanaannya belum merata di seluruh Indonesia

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dengan mengenakan masker di SD Negeri Banyudono, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (23/5).
Foto: Anis Efizudin/Antara
Siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dengan mengenakan masker di SD Negeri Banyudono, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menilai kualitas pendidikan Indonesia masih rendah meski perluasan akses pendidikan telah dilakukan secara signifikan. Bank Dunia mengamati, sejak 2002, Indonesia telah memulai reformasi kebijakan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Meski begitu kualitas pembelajaran siswa masih berada di bawah tingkat negara lain di kawasan Asia Tenggara.

"Jumlah siswa yang bersekolah telah tumbuh secara signifikan, tetapi kualitas pembelajaran siswa tetap berada di bawah tingkat negara-negara lain di kawasan. Misalnya, 55 persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10 persen di Vietnam," kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander dalam laporan Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia di Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada Rabu (6/6).

Frederico mengatakan, reformasi pendidikan di Indonesia telah mencakup bidang-bidang yang tepat. Akan tetapi, pelaksanaannya masih menyebabkan hasil yang tidak merata. Ia menyebut, reformasi pendidikan yang dilakukan mencakup peningkatan pembiayaan untuk pendidikan, peningkatan partisipasi para pelaku lokal dalam tata kelola sektor pendidikan, peningkatan akuntabilitas, peningkatan kualitas guru, dan pemantapan kesiapan siswa ketika memasuki sekolah.

Menurut Frederico, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk segera menghentikan ketimpangan dalam hasil belajar siswa di Indonesia. Ia menyarankan, pemerintah perlu menetapkan kriteria kualifikasi untuk setiap guru. Selain itu, pemerintah diminta untuk menentuukan target berbasis kinerja untuk sekolah yang ada di daerah tertinggal.

"Selain itu, pemerintah bisa meluncurkan kampanye kualitas pendidikan nasional untuk menciptakan kesadaran publik dan tekanan untuk melakukan tindakan yang efektif untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar," kata Frederico.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku persoalan pendidikan ditangani oleh sejumlah instansi baik di pemerintah pusat maupun daerah. "Dari sisi tanggung jawab memang harus dilakukan secara kolektif," ujarnya.

Ia menjelaskan, di tingkat pusat, Kemenristekdikti, Kemendikbud, dan Kemenag memiliki anggaran untuk pendidikan. Selain itu, masih terdapat sejumlah kementerian yang mendapat anggaran pendidikan bersifat vokasional. Meski begitu, dari total pagu anggaran pendidikan yang sebesar Rp 444 triliun pada 2018, sekitar dua pertiganya diserahkan kepada daerah.

Sri mengaku, fokus pemerintah ke depan adalah untuk meningkatkan kualitas guru beserta tunjangannya agar dapat memenuhi kebutuhan terkait kesejahteraan dan untuk bisa memberikan pengajaran yang baik. Kemudian, ia menilai perlu ada peningkatan efektivitas pada proses belajar mengajar.

"Ini juga jadi salah satu temuan di berbagai negara mengenai manajemen sekolah dan efektivitas anak belajar di sekolah. Kualitas kurikulum dan text book menjadi sangat penting," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement