Selasa 29 May 2018 20:26 WIB

Sekolah Didorong Lakukan Self-Disruption

Hal itu akan mendorong sekolah gesit untuk berubah tanpa perlu menunggu pihak lain

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, saat menjadi pembicara dalam talkshow Pendidikan Masa Depan di Era Digital yang digelar Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (28/11).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, saat menjadi pembicara dalam talkshow Pendidikan Masa Depan di Era Digital yang digelar Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (28/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Untuk menghadapi masa depan sekolah di Indonesia dinilai harus melakukan self-disruption, yakni melakukan sendiri perubahan yang fundamental (mendasar) pada sistem. Kemudian, pengelolaan hingga proses belajar-mengajar agar adaptif terhadap perubahan yang sangat cepat dan tidak menentu.

"Untuk itu self-disruption harus diawali dengan mengubah pola pikir atau ideologi pendidikan saat ini bagi guru atau orang tua agar transformasi perubahan dapat cepat dilakukan berdampak langsung kepada siswa serta terjamin keberlanjutannya (sustainable)," ujar Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, beberapa waktu lalu.

Self-disruption tersebut, menurut Rizal, akan mendorong sekolah gesit untuk berubah tidak perlu menunggu pihak lain atau kebijakan top-down pemerintah yang cenderung berbelit-belit. "Karena prasyarat untuk memenangkan persaingan di era milenial adalah yang cepat dan gesit bukan yang kuat atau besar," katanya menambahkan.

Pola pikir self-disruption tersebut antara lain pertama, sekolah tidak boleh merasa nyaman dengan kondisi pendidikan saat ini, melainkan harus gelisah menanyakan pada dirinya sendiri apakah pendidikan yang diselenggarakan cocok dengan kebutuhan generasi milenial atau dapat membangun kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja ke depan.

Rizal mengutip pernyataan Jim Clifton, bahwa generasi milenial membutuhkan pendidikan yang "personalised" yang memberikan otonomi dalam belajar bukan yang menyeragamkan. Mereka butuh pengajaran pendampingan bukan ceramah "klasikal" karena cenderung monoton dan tidak mengembangkan setiap kekuatan siswa. "Cara belajarnya bergaya eksploratif bukan abstrak sehingga pembelajarannya lebih otentik dan memicu kekritisan," ujarnya.

Kedua, sekolah tidak boleh takut bertransformasi dari sistem lama ke sistem baru. Transformasi meliputi mindset, ekosistem, budaya atau lingkungan belajar hingga sistem pedagogi. Ketiga, membuat disruptive innovation agar situasi disrupsi tidak dimaknai sebagai ancaman melainkan peluang untuk menciptakan iklim kreativitas atau pemikiran yang beragam.

Dua strategi dalam membangun pola pikir self-disruption adalah membangun kesadaran tentang kebutuhan mentransformasi sekolah secara adaptif dan cepat dan mengkomunikasikan visi dan misi serta melakukan koalisi dengan guru, orang tua atau masyarakat, dan siswa selaku stakeholder sekolah. "Dua langkah itu akan mempermudah perubahan budaya dan strategi organisasi sekolah," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement