Sabtu 21 Apr 2018 05:24 WIB

Puskurbuk Siapkan Strategi Inovasi Buku Pelajaran Masa Depan

Buku pelajaran harus mengakomodasi kemampuan berpikir kritis, holistik, integratif.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Dr  Awaluddin Tjalla sedang memberikan kata sambutan.
Foto: Dok Indonesia Bermutu
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Dr Awaluddin Tjalla sedang memberikan kata sambutan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan perkembangan zaman, di era industri 4.0 sekarang ini disebut sebagai abad yang berkelimpahan, segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah, termasuk informasi atau pengetahuan. Anak-anak dengan mudah terpapar berbagai produk teknologi yang memanjakan dan melenakan.

Demikian juga dengan informasi. Informasi tentang apa saja dapat diperoleh dengan mudah, termasuk informasi tentang hal-hal yang negatif. “Anak kita yang kesehariannya terlihat baik-baik saja, rajin belajar, taat beribadah, tidak permah macam-macam, disiplin, dan bertanggung jawab, namun kita tidak tahu sebelum tidur tadi malam ia melihat apa di komputer, laptop, atau smartphone mereka," kata Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Dr  Awaluddin Tjalla di hadapan para perancang dan pengembang Buku Pelajaran Masa Depan di Pusat Kurikulum dan Perbukuan, di Jakarta, Rabu (18/4).

Bisa saja, kata Awaluddin, sewaktu mencari informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas di sekolah, tiba-tiba muncul gambar, berita atau cerita-cerita yang tidak baik. "Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan eksternal dari kita sebagai orang tua sudah tidak memadai lagi, yang sangat menentukan adalah pengawasan internal dari dalam diri anak,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (20/4).

Ia menambahkan, hal ini bermakna bahwa dunia pendidikan harus mampu mengantisipasi dan menciptakan strategi pembelajaran yang memperkuat logika, nalar, kemampuan berpikir kritis, High Order Thinking Skills (HOTS), problem solving sehingga anak mampu memilih dan memilah informasi mana yang perlu ia lihat atau ia ambil.

 

“Jika demikian adanya, kita harus jeli dalam merancang bahan dan strategi pembelajaran yang mengisnpirasi dan memberikan stimulan kepada peserta didik untuk mampu menggunakan ilmu dalam menganalisis dan menyelesaikan persoalan kehidupan,” kata  Awaluddin Tjalla.

Plh  Kabid Perbukuan Kemendikbud, Suprananto mengemukakan,  kemampuan untuk menggunakan kompetensi yang didapatkan melalui belajar merupakan tujuan utama dari sebuah penulisan buku pelajaran.

“Untuk itu, tidak cukup bila kita hanya menginformasikan sesuatu tanpa menginspirasi anak  untuk mengaitkan antara satu informasi dengan informasi lain, baik dalam mata pelajaran yang sama maupun keterkaitan dengan  mata pelajaran lain,” tuturnya.

 

Ia menegaskan, penguasaan konsep keilmuan harus dilanjutkan ke penguasaan kecakapan proses, metode, dan  prosedural, hingga akhirnya sampai pada proses metakognitif. Kecakapan ini merupakan modal dasar bagi setiap siswa untuk beradaptasi di mana saja dan kapan saja, serta mendorong siswa untuk mempelajari lebih mendalam (learning to learn).

Melalui cara ini  siswa dibiasakan dan dimotivasi untuk menggunakan pengetahuan dan kecakapannya itu di kehidupan nyata. “Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan tidak ada jarak antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki dengan perilaku sehari-hari.Untuk itu, peserta didik harus dibiasakan berpikir holistik, melihat sesuatu hal dari berbagai sudut pandang,” paparnya.

Koordinator kegiatan,  E Oos M Anwas mengatakan,  buku pelajaran bukanlah tumpukan definisi, pengertian, teori, dan soal-soal, serta kunci jawaban. Lebih dari itu, buku-buku pelajaran seyogyanya mampu menginspirasi setiap anak untuk mendalami lebih lanjut secara mandiri sehingga tanpa disadari mereka mampu mengembangkan potensi dirinya secara mandiri.

Menurutnya, tidak zamannya lagi anak dijejajali dengan informasi karena mereka berada di abad berkelimpahan informasi. “Mereka dapat dengan mudah memperoleh informasi di manapun dan kapanpun, dan bahkan mereka justeru lebih banyak tahu di bandingkan dengan kita. Uraian materi dalam buku yang bersifat mengajari, menjelaskan apa yang sudah pasti, dan kutipan-kutipan teori sudah tidak zamannya lagi. Era itu sudah lewat,” ujarnya.

Buku yang baik, kata Oos, adalah buku yang menyajikan strategi dan keterampilan berpikir untuk membaca keterkaitan antara satu hal dengan hal yang lain. “Bagaimana mungkin anak akan mudah memahami dan menguasai pelajaran PPKn atau Agama dengan baik apabila logika dasar mereka bermasalah. Mereka akan kesulitan menangkap pesan tentang nilai-nilai apa yang terkandung dalam dokumen atau peristiwa yang sedang dibaca,” tuturnya.

Mereka juga akan kesulitan untuk memahami betapa pentingnya kepedulian terhadap sesama dan lingkungan jika logika dan nalar ilmiahnya juga tidak jalan.

 “Pertanyaan-pertanyaan seperti 'apa yang seharusnya saya lakukan di sepanjang hidup ketika saya sangat paham bahwa  sampah plastik tidak mudah terurai di tanah?'. Jika saya membuang sembarangan sepotong plastik kecil bekas pembungkus roti atau permen tiap hari, dan teman seusia saya juga melakukan hal yang sama tiap hari, apa yang akan terjadi setelah satu tahun kemudian,” ujarnya.

Kepala Bagian Tata Usaha, Puskurbuk,  Lestyani Yunarsih mengemukakan,  semua pihak terkait harus menyadari bahwa peserta didik adalah manusia yang aktif mengembangkan pola pikirnya secara mandiri. “Buku yang baik adalah buku yang mendorong tumbuhnya pikiran reflektif dan dialog aktif antara pembaca dengan penulis dalam alam di sekitarnya,” tuturnya.

Menurutnya, kemampuan berpikir kritis, holistik, dan integratif  harus terakomodasi dengan baik dalam buku pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kelemahan pendidikan selama ini anak terbiasa berpikir terkotak-kotak berdasarkan bidang studi, padahal persoalan dalam kehidupan merupakan satu kesatuan.

 

Untuk menghasilkan buku yang baik, penulis, editor dan pihak lain yang terkait harus bersama-sama melakukan kajian secara mendalam tentang kondisi dan posisi siswa sebagai pembelajar yang aktif. “Puskurbuk siap berkolaborasi dengan semua pihak dan membuka peluang se-luas-luasnya  kepada  masyarakat untuk berpartisipasi menghasilkan buku-buku pelajaran inovatif dan bermutu di masa datang,” papar Lestyani.

Penanggung Jawab Kegiatan, Jaka Warsihna menambahkan, untuk dapat menemukan berbagai model buku pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak dan perkembangan zaman, Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah menyiapkan beberapa langkah strategis, di antaranya adalah membentuk tim teknis yang benar-benar beorientasi kepada mutu.

 

Selama ini, kata dia,  isi buku sering  dijadikan alasan oleh guru mengapa  pembelajaran  tentang alat-alat transportasi di daerah kepulauan harus sama materinya dengan di daerah daratan dan perkotaan. Mereka dengan mudah mengatakan “kami membelajarkan ini karena bukunya seperti itu”. Akibatnya pembelajaran tidak lagi kontekstual.

“Memang, jika kita berpikir buku selalu bersifat tekstual, maka sulit untuk menghindari hal itu. Untuk itu, ke depan, Puskurbuk juga akan menyediakan buku-buku digital (digital book) yang sangat  fleksibel, relevan dan kontekstual,” ujarnya.

 

Ia menjelaskan, buku digital adalah buku yang “hidup” dan siap diakses oleh peserta didik di manapun berada. Buku seperti ini menjadi kebutuhan pokok anak-anak di Nusantara ini.

Tidak dipungkiri bahwa buku-buku pelajaran selama ini banyak mengundang masalah, meskipun itu bukan buku buatan pemerintah. “Jika ada salah dalam penulisan, maka anak juga belajar tentang hal yang salah. Kondisi seperti ini tidak akan terjadi lagi apabila buku-buku yang akan datang berupa buku digital. Kesalahan yang ada di buku akan segera dapat diperbaiki saat itu juga,” paparnya.

Tim Teknis Pengembangan Model Buku Masa Depan, Zulfikri Anas mengemukakan,  sebuah buku pelajaran disebut bermutu tidak hanya karena materinya valid (sahih), tetapi juga relevan dengan kebutuhan peserta didik, signifikan untuk dipelajari, bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat harus dilihat dari semua sisi, baik secara akademis (kelanjutan pendidikan) maupun kebutuhan di kehidupan nyata sehari-hari.

Sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh penulis melalui uraian buku, seperti:  Sejauh mana materi tersebut penting dipelajari? Penting untuk siapa? Mengapa penting?. Dengan demikian, materi dan kegiatan yang dipilih untuk disajikan tentunya memang yang benar-benar diperlukan oleh siswa saat ini dan masa datang. “Materi disajikan seara atraktif, menantang, dan menginspirasi setiap untuk menerapkannya dan mempelajarinya lebih lanjut, memunculkan dorongan untuk menerapkan dalam kehidupan nyata dan dorongan untuk mengembangkan sendiri secara mandiri,” kata Zulfikri.

Untuk itu, Zulfikri menambahkan, para penulis buku harus menguasai kurikulum dengan baik, memahami dunia anak, menguasai tuntas substansi atau materi yang akan ditulis, dan cara penyampaian yang tepat sehingga peserta didik yang membaca buku tersebut dapat tumbuh menjadi anak yang cerdas, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. “Oleh karena itu, dunia perbukuan harus benar-benar terbebas dari sikap mental dan pola pikir yang merusak moral,” ujarnya.

Menulis buku, kata dia,  harus dengan nurani dan membuang jauh-jauh kepentingan sesaat yang justeru berakibat rusaknya mutu buku yang dihasilkan. “Pola-pola yang digunakan dalam proses penyiapan buku pelajaran di masa lalu sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan di masa datang. Untuk itu, langkah-langkah inovatif sangat diperlukan mengingat penggunaan buku pelajaran sudah sangat berbeda dengan cara-cara di masa lalu,” tegas Zulfikri Anas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement