Jumat 06 Apr 2018 18:02 WIB

Puisi Esai untuk Pendidikan Karakter di Sekolah

Ada beberapa keunggulan puisi esai untuk kebutuhan itu.

Diskusi berlangsung dalam seri ketiga pro kontra puisi esai di Yayasan Budaya Guntur, Jakarta, Jumat (6/4).
Foto: istimewa
Diskusi berlangsung dalam seri ketiga pro kontra puisi esai di Yayasan Budaya Guntur, Jakarta, Jumat (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Puisi esai potensial digunakan untuk ikut membangun karakter para siswa di sekolah dan pendidikan umum. Ada beberapa keunggulan puisi esai untuk kebutuhan itu. 


Aneka isu sosial dari Aceh sampai Papua yang dituliskan dalam puisi esai mampu merekatkan embali solidaritas kebangsaan. Ada drama dan bahasa puisi esai yang mudah dipahami. Juga ada catatan kaki dalam puisi esai yang memudahkan siswa untuk mengeksplor materi puisi.

Estetika dalam gerakan puisi esai yang dimotori Denny JA, tidak seperti puisi umumnya, seperti diksi atau kekuatan kata. Estetika puisi esai justru berasal dari ideologi kisah dan drama dalam puisi esai itu.

Demikian disampaikan dosen sastra dari Jawa Tengah, Teguh Supriyanto. Diskusi berlangsung dalam seri ketiga pro kontra puisi esai di Yayasan Budaya Guntur, Jakarta, Jumat (6/4). Acara yang dimoderatori  komedian Sakdiyah Ma’ruf memang diseting seperti itu agar diskusi tak hanya merenung. "Tapi juga segar dan penuh tawa," ujar Isti Nugroho, selalu ketua panita dalam siaran pers.

Lima penyair dari lima pulau besar ikut hadir dalam diskusi itu menggambarkan isu sosial dalam puisi esai di wilayah mereka masing masing. 

Kemalawati dari Aceh mengisahkan drama yang memang menjadi khas Aceh: Kisah pribadi dalam era Gerakan Aceh Merdeka dan gelombang Tsunami. Anggia Budiarti dari Papua menceritakan isu yang tumbuh di sana: perang suku, konflik pendatang vs penduduk asli, hingga konflik tanah adat.

Thobroni dari Kalimantan mengangkat drama dalam isu perbatasan Indonesia- Malaysia, rusaknya ekosistem karena bisnis pertambangan, dan punahnya tradisi masyarakat lokal. Hamri Monopo dari Sulawesi mengkisahkan isu adat istiadat yang tak lagi relevan, juga kepongahan darah biru dalam budaya lokal itu.

Heri Mulyadi dari Sumatra Selatan menceritakan kisah pilkada di wilayahnya. Betapa misalnya politik memanfaatkan kemiskinan dengan mengumbar janji kampanye. Semua isu itu dikisahkan dalam puisi esai yang panjang, penuh drama, mudah bahasanya dan dilengkapi catatan kaki.

Denny JA selaku penggagas puisi esai menyambut baik masuknya puisi esai dalam pendidikan karakter di sekolah. Menurut Denny, para guru dari lima pulau sedang membuat buku panduan puisi esai. Juga sedang disiapkan anak SMP, SMA, universitas mengkisahkan dunia mereka melalui puisi esai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement