Kamis 07 Sep 2017 20:30 WIB

Lima Catatan Kritis JPPI Atas Perpres Pendidikan Karakter

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo melakukan konferensi pers terkait Perpres Penguatan Pendidikan Karakter di Istana Negara, Rabu (6/9).
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Presiden Joko Widodo melakukan konferensi pers terkait Perpres Penguatan Pendidikan Karakter di Istana Negara, Rabu (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengimbau pada masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memantau pelaksanaan Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). “JPPI menghimbau pada masyarakat dan juga wali murid untuk turut serta mengontrol implementasi perpres ini,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (7/9).

Ubaid menjabarkan, JPPI menilai tidak ada terobosan gagasan tentang apa itu pendidikan karakter dan penerapannya. Ia menyebut, isi perpres tidak ada bedanya dengan konsep dan muatan kurikulum yang selama ini dipraktikkan di sekolah. Ia mencontohkan, integrasi pendidikan karakter melalui Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam struktur Kurikulum 2013 (K-13). “Semua gagasan tentang pendidikan karakter yang termaktub dalam perpres itu tidak ada yang baru,” jelasnya.

Kedua, ia menilai Perpres PPK akan melegitimasi Permendikbud 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Ia menjabarkan, dalam Pasal 9 mempersilahkan satuan pendidikan untuk memilih penerapan PPK dalam lima atau enam hari dalam sepekan. Namun, dalam Pasal 14, menteri yang mengatur peraturan teknisnya.

Ia menyebut, apabila mencermati Permendikbud 23 Tahun 2017, tidak ada yang bertentangan dengan Perpres PPK ihwal penerapan PPK di satuan pendidikan. Ketiga, ia menilai orientasi Perpres PPK dan Permendikbud Hari Sekolah masih sama, yakni ihwal pemenuhan beban kerja guru.

Ia menjabarkan dalam Pasal 6 menjelaskan penyelenggaraan PPK merupakan tanggung jawab kepala satuan pendidikan formal dan guru, dan tanggung jawab itu ditunaikan sebagai pemenuhan beban kerja guru. “Ujung dari PPK adalah pemenuhan beban guru, bukan atas dasar kebutuhan siswa,” jelasnya.

Keempat, ia meminta Kementerian Agama segera mengeluarkan payung regulasi yang mengakomodir kebutuhan siswa dan santri, serta karakteristik pendidikan keagamaan. Ia mewanti-wanti jangan sampai ada protes pelaksanaan Perpres PPK. Sebab, banyak SD/SMP yang berdiri di lingkungan pesantren dan bersinggungan dengan waktu dan pendidikan diniyah. Perpres Nomor 87 Tahun 2017 itu tidak bicara jam belajar. Sehingga, menurutnya ketentuan tentang jam belajar dari Kemendikbud bisa masih diberlakukan.

“Kemenag harus mengeluarkan Permenag untuk melindungi madrasah diniyah dari gerusan durasi jam sekolah,” tutur Ubaid.

Kelima, ia menilai pemberlakuan PPK berdasarkan rawan terjadi pungli di sekolah. Alasannya, dalam Pasal 15 menyebut, pendanaan pelaksanaan PPK bersumber dari APBN, APBD, masyarakat dan/atau, sumber lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang. “Di sinilah letak pungli akan sangat mudah dimainkan oleh sekolah dan komite sekolah,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement